Castle
Myungsoo menatap ayahnya dengan tajam yang sedang duduk santai di depannya. Wajah tegang yang awalnya ditunjukkan Jisub sudah hilang dan berganti ketenangan yang biasa di perlihatkan ayahnya. Ibunya sudah pergi dan meninggalkan Myungsoo agar berdua dengan Jisub. "Ayah masih tidak mau menceritakan semuanya padaku?" entah untuk yang keberapa kalinya Myungsoo bertanya pada ayahnya yang menjawabnya dengan menggeleng santai.
"Kenapa?" tanya Myungsoo sekali lagi.
Kim Jisub menghela napasnya lelah lalu menopang kepala dengan sebelah tangannya. "Ayah berjanji pada seseorang untuk tidak membuatmu mengingat masa itu," jelasnya.
"Siapa?!"
Jisub mengangkat bahunya lalu meminta maaf.
"Ini sudah enam tahun setelah aku mengalami kecelakaan mobil, mendapatkan trauma di kepala yang menyebabkanku amnesia!" Myungsoo berteriak marah pada ayahnya, masa bodoh dengan ayahnya yang seorang Raja. "Kalau aku tidak bisa mengingatnya sama sekali, setidaknya..." Myungsoo memelankan suaranya, lebih tenang, "...setidaknya aku tahu bagaimana masa laluku."
"Kenapa kau bersikeras untuk mengingat hal yang tidak penting?" Kim Jisub berkata dengan kerutan di dahinya.
Mengangkat bahunya, Myungsoo menoleh ke perapian yang mengeluarkan suara derak kayu terbakar. "Karena aku merasa semua orang menyembunyikan banyak hal dariku, dan aku merasa sangat bodoh dan tidak berguna karena itu," jawab Myungsoo.
Kim Jisub hanya bisa menatap putra tunggalnya dengan sedih."Banyak orang yang ingin melupakan hal itu, Myungsoo-ya," lirihnya.
"Seburuk itukah?"
-
Myungsoo's POV
Di sinilah aku sekarang. Duduk di kursi kerja ayahku dengan sebuah album foto yang terbuka di atas meja. Foto pertama menunjukkan aku yang berumur sekitar empat tahun bersama beberapa teman TK maupun anak-anak bangsawan lainnya. Aku tidak menemukannya.
Kubalik ke halaman berikutnya, tidak ada.
Tidak ada.
Tidak ada.
Tidak ada.
Ti-
Aku menemukannya! Foto yang sama dengan foto yang dikirimkan Irene dan ini diambil pada 23 Mei 2004. Jiyeon, garis wajahnya tidak berbeda dengan yang sekarang. Yang membedakan adalah senyum lebar yang sangat manis- bahkan terlihat lucu. Tangan kanannya terentang ke depan dan jari telunjuknya tersemat sebuah cincin berwarna silver. Dress berwarna peach terjuntai sampai bawah lutut dan sepasang sepatu dengan warna senada pas di kakinya.
Di tiga lembar selanjutnya tidak ada Jiyeon hingga di lembar ke-empat, sebuah foto dimana aku berada di perpustakaan Istana sedang menunjuk seorang gadis yang membaca buku yang cukup tebal dengan serius. Yang membuatku bingung, gadis itu adalah Jiyeon yang menggunakan sweater pink pastel dan rambutnya dikepang menyamping. Aku menghadap ke kamera dan tersenyum. Berbeda dengan foto-foto sebelumnya yang tak pernah menyinggungkan senyum sedikit pun. Oh! Demi Tuhan! Buku bersampul merah yang sedang dibaca Jiyeon, dengan tulisan berwarna emas. Slaughter in 1895. Mataku melebar antara terkejut, tidak percaya dan ngeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
EIRENE
FanficJiyeon tidak pernah menyalahkan Tuhan atas garis takdir yang mengelilinginya. Bahkan ketika setelah ia kehilangan kedua orang tuanya dan diperlakukan layaknya sampah oleh musuh keluarganya. Ia tidak menyesal dan menyalahkan Tuhan atas itu. Terkadang...