'Dalam hidup, kita akan kehilangan apa yang kita miliki dan kita harus menang dengan apa yang kita miliki, seperti permainan catur.'
Aku berjalan melewati lorong-lorong yang dindingnya dihiasi dengan lukisan indah. Lukisan itu menggambarkan istana jika dilihat dari luar, istana yang sedang kupijaki sekarang. Dindingnya yang berwarna merah dengan gambar mawar-mawar kecil berwarna emas adalah bagian favoritku. Kuhentikan langkah lalu kubalikkan badanku menarik kedua tangan orang tuaku yang jauh lebih tinggi dariku.
"Cepat jalannya Ibu, Ayah. Kita sudah terlambat!" suara kecilku keluar sambil berusaha menarik mereka yang hanya tertawa melihat tingkah konyolku.
"Memangnya siapa yang terlalu lama memilih baju? Bukannya anak kecil Ibu yang lucu ini sibuk memilih gaun paling indah sampai lupa waktu?" ejek Ibu dengan senyum jahilnya.
Pipiku merona malu dengan bibir mengercut kesal. "Maaf," kataku menyesal sementara Ayah hanya terkekeh melihat tingkah kami. Kami berhenti di depan pintu besar berwarna coklat. Ayah menarikku menjadi di belakangnya sementara ia mengetuk pintu.
Ibu berbisik pelan padaku, "Ingat perjanjian kita?"
Aku mengangguk tepat saat Ayah membuka pintu besar itu tiba-tiba kilatan putih muncul. Seketika itu pula tempat ini berubah berganti sebuah ruangan yang gelap hanya ada sebuah lampu yang menyorot sepasang tubuh yang tergeletak berlumuran darah di lantai.
.
Jiyeon terduduk dengan napas memburu dan keringat yang membasahi pelipis, leher serta piyama tidurnya. Matanya bergerak liar ke setiap sudut kamarnya yang gelap. Tubuhnya bergetar bersingut mundur hingga punggungnya membentur kepala ranjang.
"H-Hyo... min..." ucapnya pelan dengan bibir yang bergetar. "Hyo-min... Hyomin!" ia berteriak lebih keras. "HYOMIN!" nama itu terus ia panggil sampai pintu kamarnya terbuka, seseorang masuk.
"Nona!" gadis yang baru masuk itu dengan cepat mendekati Jiyeon lalu duduk di sudut ranjang menghadap Jiyeon. "Tidak apa-apa, nona," katanya menenangkan. Hyomin mengulurkan tangannya menyentuh tangan Jiyeon yang menarik-narik rambutnya kasar. "Sudah tidak ada yang perlu anda takuti, nona." Ditariknya tangan Jiyeon lalu tangannya yang bebas menyentuh puncak kepala Jiyeon. "Anda sudah aman, nona."
Jiyeon terisak, tangan kanannya menggenggam tangan Hyomin yang mengelus kepalanya. "Ibu dan Ayah dibunuh. Lalu, tidak ada yang menyelamatkanku walaupun aku memohon. Mereka menyakitiku, menginjak-injak harga diriku..."
"Tenangkan dirimu, nona." Hyomin panik lalu mengeluarkan ponselnya menghubungi seseorang. "Yunho-ssi, cepat ke kamar nona dan bawa obatnya!" kata Hyomin pada seseorang di telepon. "Ya. Nona mimpi buruk lagi. Cepatlah kemari!"
Beberapa menit kemudian seseorang datang dengan membawa sebuah kotak abu-abu. Karena keadaan yang remang-remang, pria itu segera menyalakan lampu dan menemukan Jiyeon dengan keadaan yang berantakan.
"Mereka akan mendapatkan hukumannya, benarkan?" rancau Jiyeon.
Yunho segera mendekati ranjang lalu mengeluarkan jarum suntik dan tabung kecil berisi cairan bening. Disuntikkannya cairan itu di lengan Jiyeon dengan se-lembut mungkin agar tidak menyakiti Jiyeon. Ia membantu Hyomin membaringkan Jiyeon kembali ke ranjangnya.
"Akan ku balaskan dendamku pada mereka... hh... sampai mereka... mendapatkan semua penderitaan... yang pernah kudapatkan... hh..." lirih Jiyeon dengan mata yang semakin berat karena kesadarannya sudah di ambang batas. "Kalian tidak boleh... pergi. Karena... hh kalian adalahh... pelayan.. –ku... pelayan kelu... arga..." Jiyeon pun terlelap karena efek obat tidur yang sudah bekerja di tubuhnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
EIRENE
Fiksi PenggemarJiyeon tidak pernah menyalahkan Tuhan atas garis takdir yang mengelilinginya. Bahkan ketika setelah ia kehilangan kedua orang tuanya dan diperlakukan layaknya sampah oleh musuh keluarganya. Ia tidak menyesal dan menyalahkan Tuhan atas itu. Terkadang...