EIRENE 6 | Wounds That Never Heal

497 89 13
                                    


DAK

Anak panah yang dilepaskan Oh Sehun melesat tepat di titik tengah target. Tanpa melepas senyumnya ia menatap Jiyeon. "Anak panah harus sejajar dengan mulut lalu tarik busur dengan kekuatan bertumpu pada sikutmu. Bagaimana? Kau sudah paham?" katanya pada Jiyeon yang berada di sampingnya, memperhatikan.

Menggigit bibir bawahnya, Jiyeon terlihat berpikir lalu menatap Sehun. "Let me try," mintanya dengan sungguh-sungguh.

Sehun mengangguk lalu memasang pelindung siku dan tangan pada Jiyeon. Diberikannya panah dan busur pada Jiyeon, lalu membimbing gadis itu untuk membidik. "Pull it with your elbow," Ia mengarahkan tangan kirinya di atas tangan kiri Jiyeon yang memegang kepala busur dan tangan kanannya memperbaiki posisi lengan kanan Jiyeon. "Close your left eye and try to focus."

Mengikuti arahan Sehun, Jiyeon menutup mata kirinya lalu membidik pada papan target yang jauhnya kira-kira 25 meter.

"Hold your breath," Bisik Sehun lalu menjauhkan tubuhnya dengan perlahan. "And then... Shoot!"

DAK

Jiyeon menurunkan kedua tangannya lalu melihat hasil bidikannya dengan dengan dahi berkerut samar. "How is it?" tepat setelah mengatakan hal itu, Sehun mengambil alih busur di tangan Jiyeon lalu tersenyum lembut pada gadis itu.

"As expected of you, My Lady," balasnya. "It's eight!"

Sebelah alis Jiyeon terangkat, bibirnya membentuk garis lurus. Sangat kentara bahwa gadis itu tidak puas dengan hasilnya. "I need ten, not eight," geramnya.

Kedua alis Sehun bertaut. "Ini pertama kalinya kau memanah. Mustahil kau bisa mendapatkan sepuluh poin hanya dalam dua hari!" Sehun merutuki Jiyeon yang sangat keras kepala. Bagaimana mungkin gadis itu memaksa mendapatkan sepuluh poin dengan tangan terluka.

"Nothing impossible for Midfords. You know that," desis Jiyeon dengan tatapan tajam dingin pada Sehun. "And, don't ever look me down!"

"Aku tahu!" sentak Sehun. Ia menatap Jiyeon dengan mata yang memancarkan kekhawatiran. "Aku tidak pernah meremehkanmu!" lirihnya dengan sebelah tangan yang menangkup pipi Jiyeon. "Tapi Jiyeon-ah, kau manusia! A human! Jangan memaksakan diri hanya karena ingin mendapatkan Shin Wonho! Jangan membuatku khawatir karena pekerjaanmu selalu menempatkan dirimu dalam bahaya!" lanjutnya dengan suara lebih keras dan mata yang berkaca-kaca. Sungguh Sehun bukan pria cengeng yang mudah menangis. Tapi, "Aku benci karena tidak bisa melindungimu. Aku membenci diriku sendiri karena tidak bisa menghentikanmu menerima resiko terburuk karena pekerjaanmu."

Mata Jiyeon bergerak menatap mata kanan dan kiri Sehun bergantian, bingung bagaimana ia harus bereaksi. Ingin berbicara, tapi Jiyeon tidak tahu apa yang harus disampaikannya. Akhirnya hanya satu kata yang terucap dari bibirnya, "Maaf."

"Tidak bisakah kau berhenti-."

"Ini pekerjaanku," Potong Jiyeon. "Ini tugas keluarga Midford," lanjutnya dengan tatapan kosong.

"Tapi kau punya pilihan-."

"Aku memang punya banyak pilihan," lirih Jiyeon lalu menatap Sehun tanpa keraguan. "Dan ini-lah pilihanku."

---

Shin's Manor

Suasana makan malam keluarga Shin berjalan dengan tenang. Tuan dan Nyonya Shin duduk berhadapan sementara Wonho duduk di samping Tuan Shin dan menyantap makanannya tanpa minat. Selama tiga puluh menit, Wonho hanya melahap lima sendok makanan dan mengunyahnya perlahan sambil melamun.

EIRENETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang