Melody menjaga pandangannya tetap kedepan dan memastikan pesawat tetap berada pada jalur. Lidya sebagai co-captain menginformasikan kepada kepala pramugari bahwa mereka sudah mencapai ketinggian yang diperbolehkan. Melody menyetel pesawat dalam mode auto-pilot.
"Apa gue udah menghapus keraguan lo mengenai kemampuan gue untuk menerbangkan pesawat ini?"
Lidya terkekeh mengingat ia terus-menerus mengusik Melody mengenai hal ini sebelum keberangkatan mereka.
"Apa? Gue cuma mau mastiin aja. We never know how crazy you can be."
"Shut up."
"Anyway, kapan kamu belajar begini?"
"Belajar apa?"
"Nerbangin pesawat terbang?"
"Ah, inget waktu gue terus-terusan bilang bosen dirumah waktu lo ngelarang gue pergi kerja? Gracia masangin online flight simulator buat gue. Jadi gue mainin itu terus deh."
"Heh, gue ngelakuin itu karena lo harus istirahat cebol. Tapi Gracia baik deh. Gue udah bisa ngeliat buah dari hasil latihan lo."
"Yah setelah gue menabrakkan selusin penerbangan." Melody tidak bermaksud mengatakan hal itu dengan suara keras namun ternyata suaranya mencapai telinga Lidya. Mata wanita itu membulat.
"APA?"
"Ssh, diem Lids. Lo bakal menyebabkan scene yang gak diinginkan. Bayangin kalo pramugarinya denger."
Melody menutup mulut Lidya dan tanpa sadar duduk dipangkuan wanita itu. Dari sudut pandang orang lain terlihat seakan Melody dan Lidya sedang bercumbu saat bertugas; secara tidak resmi. Sialnya, seorang pramugari masuk dan tercengang.
"Captain?!"
Melody dan Lidya cepat-cepat membuat jarak dengan Melody meluruskan seragamnya dan Lidya berdeham dengan kikuknya. Melody menoleh kearah sang pramugari.
"Yeah?"
"Do you want a drink?"
"Sure. A cup of coffee should do. Lids?"
"Same as her." Lidya tersenyum pada sang pramugari. Sang pramugari balas tersenyum dan menganggukkan kepalany. Wanita itu kemudian meninggalkan cabin kapten. Lidya mendesah lega.
"Hah, hampir aja."
Melody memukul bagian belakang kepala Lidya membuat wanita itu mengerang.
"Lain kali jangan teriak kayak gitu."
Lidya tidak berani berargumen balik. Dia tahu dirinya salah.
"Maaf." Dia mencebik dan hal itu membuat kemarahan Melody mereda. Bibirnya membentuk sebuah senyuman dan mendorong pelan bahu Lidya.
"Lo gak lucu."
Lidya memperlihatkan cengirannya dan menampilkan beberapa pose lucunya pada Melody. Melody tertawa melihat rekannya yang aneh itu. Tidak seorangpun dapat melakukan apa yang Lidya lakukan terutama untuknya.
...
"You're okay Cindy?"
Saat ini Shania mengkhawatirkan putrinya. Semuanya terjadi terlalu cepat bagi gadis itu. Dia takut jika Cindy terkena efeknya.
"I'm okay mom. Cuma sedikit... capek secara mental."
Shania menarik putrinya ke arahnya dan memeluknya erat. Dia mencium puncak kepala gadis itu dan membiarkannya nyaman didalam dekapannya.
"I'm sorry. Bertahan sebentar lagi oke? Seenggaknya sampai kita menemukan Beby."
"Gimana kalo kita gak akan pernah nemuin dia?" Cindy tidak ingin mengatakannya tetapi bagaimana jika Beby bukan seperti dirinya yang dulu? Bagaimana jika hidup normal membuatnya cukup lembek sehingga orang lain bisa membunuhnya? Pikiran itu membuatnya ketakutan setengah mati. Shania dapat merasakan ketidaknyamanan putrinya. Dia juga merasakannya. Sudah lama sekali sejak mereka bertarung dengan orang-orang jahat. Bisakah Beby bertahan hidup? Tidak, dia tidak boleh terus-menerus memikirkan hal semacam itu. Dia mempercayai partnernya dan dia mempercayai Beby ketika wanita itu mengatakan hanya maut yang dapat memisahkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROJECT 9: The New Era
FanfictionSequel dari Project 9 Still not mine. Credit goes to Bluppy as the writer, I only change the languages, characters and some of it to be fit. Hope you guys would enjoy this one too