Lidya duduk disebelah Jinan. Anak laki-laki itu kelihatan sedang tenggelam dalam lamunannya dan tidak menyadari bahwa ia sedang memperhatikannya. Lidya harus mengakui, Jinan terlihat lebih mirip Kinal dibanding Veranda.
"Hey."
Dia memanggil anak itu namun anak itu tidak merespon. Dia menyenggol bahu anak itu. Jinan menoleh.
"Hah?"
"Mungkin lo harus ngecek lagi siapa nyokap kandung lo soalnya lo sering ngelamun sama kayak Shanju."
Jinan menghela napas berat dan menunduk melihat kakinya yang berayun dari lantai atap. Dia sengaja menghindari orangtuanya, Cindy dan orangtua Cindy. Lidya dapat membaca dari wajahnya bahwa anak ini sedang pusing oleh banyak hal.
"You okay kid?"
"..I think so."
"You don't sounded exactly like an okay kid. Kenapa?"
Jinan menatap Lidya. Dia baru saja mengenal wanita ini. Haruskah dia mengatakan pada wanita ini apa yang ada didalam pikirannya? Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Karenanya dia tetap bungkam. Terdapat sebuah senyum diwajah Lidya. Dia meluruskan kakinya dan berbaring disamping anak itu. Dia menggunakan lengannya sebagai bantal dan mendongak menatap langit malam.
"Gue pernah sama kayak lo. Diantara kami bersembilan, gue yang paling lemah. Satu-satunya hal yang bisa gue lakuin cuma tembakan jarak jauh. Setiap kali gue dalam masalah, yang lainnya akan ngebantu gue. Hal seperti ini bisa menurunkan mental seseorang. Dan itu berlaku untuk gue. Gue ngerasa gak berguna. Tapi lo tau nyokap lo, dia satu diantara seribu. Dia dan Beby adalah satu diantara seribu. Mereka terus ngejaga gue setiap kali kami ada misi bareng sampai gue belajar untuk bertarung demi diri gue sendiri. Memang butuh waktu tapi sekarang gue bisa melindungi diri gue sendiri dan disaat yang sama melindungi yang lainnya juga."
Jinan melirik kearah Lidya.
"Kenapa anda mengatakan semua ini pada saya?"
"Supaya lo tau betapa besarnya hati nyokap lo itu. Veranda bukan tipe orang yang egois. Apapun yang dia lakuin semata-mata untuk melindungi orang-orang yang dia sayang."
"Saya tau."
"Tapi?"
"Saya merasa seperti apa yang anda katakan. Saya merasa tidak berguna. Tidak seperti Cindy, saya tidak bisa melakukan apapun untuk orangtua saya. Dia selalu tau apa yang harus dilakukan."
Lidya melihat Jinan memeluk lutut dan terus menunduk kebawah.
"Lo bukan Cindy. Lo Jinan. Lo spesial dengan cara lo sendiri. Jadi diri lo sendiri aja. Gapapa kok. Gak ada seorangpun yang mengharapkan lo jadi seperti Cindy. Orangtua lo mencintai lo karena lo adalah diri lo sendiri."
"Mereka gak kecewa sama saya?"
Lidya menggelengkan kepalanya.
"Gue harap gue punya orangtua seperti orangtua lo. Hidup gue pasti akan jauh berbeda. Buang jauh-jauh rasa gak pede lo. Lo gak butuh itu."
Lidya merubah posisinya menjadi duduk dan menepuk punggung anak laki-laki itu sebelum berdiri. Dia melirik kearah tangga yang letaknya cukup jauh dan melihat Veranda berdiri disana. Dia sudah menyadari keberadaan wanita itu sejak tadi namun tetap diam. Dia berjalan kearah wanita itu dan berhenti tepat disamping Veranda.
"Dia ngingetin gue sama Kinal. You have your hands full kak Ve."
Lidya menepuk lembut pundak temannya dan menuruni tangga meninggalkan keduanya sendirian. Mereka berdua butuh waktu untuk bicara. Veranda mengusap tengkuknya. Jinan masih belum menyadari kehadirannya. Dia mengambil napas dalam lalu berjalan menuju putranya. Jinan mendengar langkah kaki dibelakangnya karenanya dia cepat-cepat berbalik dan melihat Veranda berdiri dibelakangnya dengan mata menatap lurus pada matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROJECT 9: The New Era
Fiksi PenggemarSequel dari Project 9 Still not mine. Credit goes to Bluppy as the writer, I only change the languages, characters and some of it to be fit. Hope you guys would enjoy this one too