Desember malam itu, aku duduk di pinggir teras rumahku. Masih dengan pikiran yang sama.Bahagia. Satu kata yang mewakilkan perasaan. Dia miliku. Susah aku mendeskripsikan nya. Dia hadir di saat yang tepat. Dia tau titik-titik yang berhasil melepas tawa ku.
Aku masih duduk di sini. Masih dengan baju yang sama dan waktu yang sama, ketika bintang itu memaksaku untuk menatap nya. Memikirkan bahwa ia sama seperti ku. Ia bersinar karena pantulan matahari. Dan aku bersinar karena mu. Apa kau tidak cemburu? Aku memikirkan bintang itu, bukan dirimu. Apa kau tidak akan datang kemari dan berkecak pinggang sambil memarahi bintang itu?
Ku lingkarkan tangan ku memeluk lutut. Hawa dingin ini mengusik ku. Dia membuatku gelisah. Kau dengar aku? Apa kau tidak akan datang kemari memarahi angin dingin ini karena sudah mengusik milikmu? Ah, bagaimana kau ini. Kau bilang aku milikmu? Kau bilang kau akan datang bila aku butuh kamu? Tapi tunggu, kau datang jika aku butuh? Berarti kau tak akan datang bila aku tak membutuhkan mu? Tidak, kau tidak seperti itu. Aku mengenal mu. Sangat. Bahkan lebih dari matahari dan sinarnya.
Desember malam itu, aku percaya penuh padamu. Aku merasa kau beda jauh macam lelaki lain. Biar ku beritahu, kau tak kan melepas kan perjuangan mu dengan begitu mudah. Benar kan aku? Sudah, tidak usah menjawab. Aku sudah tau kau akan membenarkan apapun yang aku ucapkan.
Aku membayangkan saat itu, saat kita belum lulus sma. Kau ingat? Kau berusaha menyelesaikan pr mu karena bu desi. Oh bukan, aku salah. Lebih tepatnya karena aku. Aku yang menyuruhmu menyelesaikan pr itu agar kau tak dihukum bu desi. Namun ketika pr itu dikumpul, ternyata semua jawabanmu salah. Dan kau dapat nol waktu itu. Tapi kau malah balik memarahi bu desi yang kau pikir tak menghargai perjuanganmu. Kau ingat itu? Sudah ku bilang, kau berbeda.
Kalian harus tau, lelaki yang berbeda itu milikku. Cuma milikku. Kalian tak bisa mencemburui ku karena memiliki kekasih sepertinya. Karena dia sudah mencemburui ku duluan, karena bicara pada kalian saat ini. Aku tau, kalian pasti berpikir aku terlalu naif. Tapi percayalah, dia sangat menawan jika dilihat bersamaku. Hahahaa
Desember malam itu, aku kembali menatap ke arah langit. Kembali menatap bintang kecil itu. Aku tau kau pasti sangat marah sekarang. Tapi percayalah, bintang itu tak pernah mendapatkan rindu dari ku. Tak pernah merasakan kesedihanku hanya untuknya. Maka kau tak perlu cemburu. Sembilu ini, hanya karena dirimu. Karena kamu yang mendapat banyak sekali cinta dari ku.
Jika kalian bertanya siapa lelaki itu, maka akan kuberitahu dengan rasa bangga dari hati yang penuh rindu. Berjanjilah kalian tak akan pernah mengambilnya dariku. Karena dia hanya miliku. Empu dari segala rasa gelisah dan bahagia ku. Dia, rean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Rean
Teen FictionKisah ini diceritakan berdasarkan sudut pandang perempuan yang mendikte masa lalunya tentang cinta klasik anak remaja yang selalu dirundung perasaan bimbang dan penyesalan. Menorehkan potongan-pontongan perbuatan labil anak remaja pada umumnya...