Chapter 9

134 11 4
                                    

"Gilak! Seriusan? Terus lo terima?" Kintan memekik ditelingaku, berhasil membuatku meringis dan menutupi kupingku.

"Issh, kecilin dikit suaranya. Ntar didengar orang." Kataku masih dengan tangan yang menutupi kuping.

"Lo terima gak?" Riri menyela.

"Belum. Aku mikirnya sih kecepatan. Orang baru kenal juga." Jawabku seadanya.

"Ya ampun qil." Kata kintan dengan wajah masih syok.(lah?).

"Gue bukanya gimana ya qil. tapi kalo menurut gue, mending lo pikirin dulu mateng-mateng. Soalnya, kan lo tau sendiri. Si Rean itu bukan anak baik. Sedangkan lo? Semua orang udah kenal lo yang kalem, pintar, cantik. Lo ngerti kan? Ya maksud gue semacam gengsi." Pernyataan Riri membuatku tertegun. Itu benar-benar menyentak hatiku. Semacam perasaan ragu mulai merasuki ku.

"Jadi yang dikenal orang-orang selama ini cuma qilla? Kita nggak dong ri?." Kintan protes lugu.

"Yadeh serah lu ah. Demen banget ngajak debat." Riri langsung menoyor kepala kintan.

Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Namun dalam hatiku, aku masih memikirkan perkataan Riri tadi. Aku sudah punya reputasi baik disekolah ini. Lalu, jika aku bersama Rean. Apakah reputasiku akan baik-baik saja? Apakah aku masih bisa mempertahankannya?

Semua yang awalnya ku kira sederhana, ternyata tak semudah yang ku bayangkan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Banyak tanggung jawab yang perlu dipertaruhkan. Banyak beban yang harus dipikirkan. Ini bukan tentang menerima, lalu bahagia. Namun justru, apa yang hilang sebelum bahagia.

Seharusnya kau tahu, kalau orang yang kau cintai ini bukan orang yang cerdas seperti apa penampilannya Rean. Aku terlalu bergejolak dalam pemikiranku yang masih kecil. Sama sekali tidak pernah berpikir kalau si empu pikiran kecil ini sudah dicintai oleh orang sepertimu Rean.
.
.
.
.
.
Suasana siang menjelang sore sudah meliputi langit. Sebentar lagi bel pulang sekolah berbunyi. Aku benar-benar sudah bosan dengan pelajaran ini. Mataku sudah sayu dan muka sudah kusam. Kenapa pelajaran sebosan ini bisa dijadwalkan pada jam terakhir?

"Sstt.. qilla." Seseorang dibelakangku memanggil.

"Hm?" Jawabku sambil menoleh kebelakang dengan malas.

"Ngantuk? Tumben lo ga semangat belajar?" Ucap Nina dengan senyum simpulnya.

"Ah nggak, ini malem tadi aku begadang nyelesain tugas-tugas yang belum." Jawabku berbohong. Aku juga baru menyadari bahwa aku memang jarang sekali tak bersemangat belajar seperti ini.

"Yakin lo begadang ngerjain tugas? Bukan karena si Rean?" Pertanyaan Nina membuatku terlonjak. Darimana dia tahu soal Rean?

Teeeeeetttttt..........

Bel pulang sekolah berbunyi. Aku sengaja memanfaatkan kesempatan untuk lari dari pertanyaan Nina tadi. Langsung kubereskan buku-buku. Lalu keluar dari kelas secepat mungkin. Mungkin waktu itu Nina juga bingung dengan sikapku.

Perasaanku campur aduk. Disatu sisi, aku senang jika kabar ini sudah meluas, maka semua orang tahu bahwa Rean sedang dekat denganku. Dan karena itu tidak akan ada perempuan lain yang mendekatinya.

Namun disisi lain aku merasa reputasiku mulai terancam. Semua orang pasti akan menggosipkan ku karena dekat dengan anak nakal. Semua orang akan berpikiran buruk terhadapku.

Aku ingin pulang ketika kulihat gerbang sekolah ramai sekali. Banyak guru-guru menghadang para murid yang ingin keluar. Sepertinya terjadi kekacauan.

Aku mendekati kerumunan orang itu. Disana ada Imam. Aku berlari ke arah Imam secepat mungkin.

"Gembelll!" Teriakku memanggil Imam. Mendengar itu Imam langsung berlari ke arah ku.

"Apaan si gembel gembel? Udah sini, jangan dekat-dekat." Imam langsung menarik tanganku menjauh dari kerumunan orang itu.

"Ada apaan mbel?" Tanyaku setelah merasa cukup jauh.

"Itu, geng nya si Rean berantem lagi. Di depan gang." Jawab gembel yang sepertinya sibuk mencari seseorang.

"Hah? Sumpah kamu? Sama demondcrew lagi?" Kataku mulai panik.

"Nggak, kali ini sama anak smk. Gilak! Katanya pake senjata tajam." Jawab Imam masih dengan mata yang kemana-mana.

"Reannya kali ini ada?" Tanyaku meninggikan suara ku karena panik.

"Ada lah! Malah gue lihat dia tadi yang mimpin gengnya ke depan gang." Jawab imam, kali ini dia sudah sibuk ke ponselnya menelpon seseorang.

"Ya ampun, gimana dong mbel? Lagi nih si Rean, bikin ulah mulu." Kataku mulai frustasi.

"Vinnnn! Siniii." Imam mengabaikan ku dan memanggil seseorang dibelakangku. Aku menoleh kebelakang. Itu Vina, adiknya Rean.

"Udah kamu disini aja vin, bahaya kalo kamu nyusul dia." Kata Imam menenangkan Vina yang sudah gusar.

"Nggak bisa bang. Ini lawannya bang Rean bawa senjata tajam. Aku nggak mungkin diem aja." Jawab vina membantah.

Mendengar itu, aku sudah tidak tahan lagi kalau hanya diam. Aku berlari menerobos kerumunan orang-orang di gerbang. Namun seketika Bu desi mendorongku kebelakang.

"Belum bisa pulang Qilla! Kamu nggak lihat yang lain belum diperbolehkan keluar sekolah?" Bentak Bu desi padaku.

"Kalo belum boleh pulang, kenapa bel pulang sudah dibunyikan bu?" Tanyaku seakan membantah. Mungkin Bu desi juga bingung, mengapa tiba-tiba sikapku melawan.

"Mundur atau skors?" Bu desi mulai mengeluarkan kata-kata legendnya.

Aku mundur selangkah. Lalu diam tak bergeming. Sejenak Bu desi masih menatapku dengan tatapan curiga. Namun tak selang sedetik, ia sudah sibuk mengurus murid lain yang juga mendesak ingin keluar.

Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk menerobos Bu desi dan keluar dari gerbang sekolah. Melihat itu guru-guru langsung mengalihkan perhatiannya padaku. Sehingga murid lain pun memanfaatkan kesempatan untuk keluar juga. Guru-guru sudah tidak bisa lagi menahan para murid yang terlepas keluar. Termasuk aku.

Aku langsung berlari ke depan gang sekuat tenaga. Perasaanku sudah tak menentu. Bagaimana keadaan Rean? Bahkan saat itu aku tidak memikirkan keselamatanku. Aku hanya memikirkan Rean.

Ketika sampai di depan gang, aku melihat rombongan Rean masih duduk santai dengan sebagian merokok. Namun anak-anak smk sudah mangaung-ngaungkan motornya didepan toko. Berisik sekali suasananya. Aku hanya diam mencari keberadaan Rean dari samping. Dan itu dia! Duduk dikursi dengan kaki kanan diangkat ke atas dan satu tangan memegang rokok di atas lututnya. Tak ada sedikitpun tampang takut di raut wajahnya.

"Rean!" Teriaku memanggilnya.

Rean langsung mendelik melihatku berada disini. Dia berdiri seraya membuang rokoknya. Secepat kilat ia menghampiriku.

"Qilla. Pulang aku antar." Katanya langsung menarik tanganku.

"Kamu bilang mau buktikan ke Ibu, kalo kamu nggak seburuk yang dibayangkan. Tapi nyatanya apa? Kamu justru lebih buruk dari yang dibayangkan." Kataku menunjuk nya persis seperti pertama kali bertemu.

Rean menurunkan telunjukku. Menatapku dengan tatapan sendunya sejenak. Lalu pergi ke arah teman-temannya.

"Kita bubar. Kalah tanpa perlawanan." Katanya kepada teman-temannya seperti memerintah. Lalu berbalik menatap tajam ke arah anak smk.

"Halo tuan P! Tuan pecundang! Buahahahah!" Teriak salah seorang anak smk, lalu disambut gelak tawa oleh teman-temannya.

Rean mengabaikan mereka dan tak menghiraukan tatapan membunuh dari teman-temannya. Ia berlari ke arah ku lagi, dan menarik tanganku menuju motornya. Aku akan meronta, namun ia menggenggam erat tanganku lagi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Pliss votmment yaaa readers😘🙏

Dia, ReanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang