Aku menyusuri lorong sepi ini dengan muka masam. Bermaksud menemui Imam dan memberinya satu jitakan di kening. Sudah begitu banyak kata-kata yang aku siapkan untuk menyemburnya atas kejadian kemarin.
"Woi, Qilla! Tungguin!" Aku sangat kenal suara itu. Kintan.
"Mana Riri? Nggak bareng lo?" Kata kintan setelah berhasil mensejajarkan langkah kami.
"Nggak tau. Aku mau ke kelasnya Gembel dulu. Mau ikut? Atau mau duluan ke kantin aja?" Tanyaku menawarkan.
"Dih, Ngapain? Tumben?" Kintan heran.
"Kesel." Kataku singkat.
Mungkin Kintan masih mencerna kata-kataku.
"Orang kesel mah, dijauhin. Ini didatengin. Tau ah!" Kintan tak mengerti, dan mengambil ponselnya dari kantong.
Dari kejauhan kulihat Putri, adiknya Riri. Dan tunggu, dia bersama Vina adiknya Rean. Ah sudahlah, anggap tak kenal saja. Mumpung si Kintan masih fokus dengan ponselnya. Dari pada ribet harus jelasin kejadian kemarin sama Kintan.
"Lah qil, itu si puput adiknya riri kan ya?" Kintan menepuk-nepuk pundakku pelan. Rupanya kintan sudah melihat.
"Hmm." Jawabku singkat lg.
"Heis," kintan menyingitkan bibir atasnya ke arah ku. "Puutt! Puput!" Panggilnya. Putri dan vina yang akan segera belok ke arah lain itu segera berhenti. "Sinian ntar!" Kintan memerintahkannya mendekat dengan tangannya.
Tentu saja mereka mendekat. Biasa, junior patuh ke senior.
"Kenapa kak?" Putri heran.
"Riri sekolah gak? Kok kita gak liat dia ya dari td pagi?" Tanya kintan.
"Nggak, teh riri flu. Jadi males masuk katanya tadi kak." Jawab putri.
"Duhh udah deh, buruann. Ntar gembel udah nggak ada lg di kelasnya." Aku memotong pembicaraan antara senior dan junior ini. Kemudian berjalan meninggalkan kintan.
"Yaudah makasii ya put! Kita duluan." Kintan menyusulku.
"Kak Qilla! Aku baru ingat, tadi bang Rean bilang kalo aku ketemu kakak, disuruh minta maaf karna teh kemarin. Katanya nggak sengaja. Dia nggak tahu itu teh pelangsing kak." Vina setengah berteriak agar aku mendengar.
Aku berbalik dan senyum sambil mengangguk ke arah Vina. Kemudian berjalan sedikit cepat agar cepat sampai di kelas Imam. Mengabaikan Kintan yang terus bertanya teh apa dan kenapa minta maaf.
Sampai di kelas Imam, kulihat bangkunya sudah kosong. Dan aku tidak menemuinya di antara gerombolan anak laki-laki kelasnya yang sedang duduk di pojok bermain kartu. Oh ralat! Itu gaplek.
"Tuhkan udah nggak ada." Kataku sebal ke arah Kintan.
"Mungkin ke kantin? Yuk ah buruan! Gue juga udah laper banget nih." Kintan menarik tanganku, setengah memaksa. Aku menuruti nya saja.
Dari jarak 3 meter, bisa kulihat Rean sedang bercengger di atas tembok pinggiran kantin pojok yang tidak terlalu tinggi, hanya sebatas pusar jika berdiri. Bukan, dia tidak sendiri. Namun ada beberapa orang. Semacam gerombolan anak nakal yang namanya biasa tertulis di buku BK. Termasuk temannya yang bersamanya waktu pertama kali bertemu. Mataku langsung refleks menatap Rean. Rean yang sedang melamun, tiba-tiba menoleh ke arahku, dan langsung turun dari tembok tempatnya duduk itu untuk duduk dikursi. Aku yang sadar bahwa ia melihatku, langsung membuang muka.
Hiruk-pikuk kantin membuatku linglung. Buru-buru kucari sosok imam di area kantin. Dan yap! Dia disana. Membelakangiku. Dua meja di depan meja rombongan Rean. Demi tuhan, yang benar saja! Aku harus ke sana dan marah-marah disaksikan oleh Rean? Oh tidak tidak! Malulah aku.
"Nah itu si gembel!" Kintan menunjuk imam dan menarik tanganku lagi mendekati imam. Aku hanya mengikuti Kintan dengan ekspresi kosong.
"Woi mbel, dicariin Qilla nih." Kintan mengejutkan Imam yang sedang menyantap soto nya. Iya, soto buk wiwin. Kemudian ia duduk di kursi plastik satu-satunya di depan imam. Otomatis membelakangi rombongan Rean.
Aku yang masih berdiri di sebelah imam hanya melongo. Berpikir aku harus duduk dimana.
Ah rean, seharusnya kau tahu. Saat itu saja aku sudah salah tingkah dihadapan mu.
"Emm, ngapain nyariin gue? Biasanya aja gue yang sibuk nyari kalian." Kata imam dengan mulut penuh dan tetap fokus pada sotonya.
"Qil, duduk kali. Mau bediri ampe kapan?" Kintan melipat tangannya didada.
"Nggak ada kursi." Kataku masih dengan tampang melongo.
"Lah, lo sakit? Noh di samping gembel apaan? Jamban?" Kintan mulai kesal.
Biar kujelaskan. Pada saat itu aku memang melihat kursi kosong disebelah Imam. Tapi itu kursi yang panjang yang juga diduduki Imam. Dan otomatis tak bisa ditarik kesebelah Kintan. Itu artinya aku harus duduk menghadap Rean. Itu yang membuatku bingung.
"Emang najis duduk sebelah gue? Segitunya lu." Imam mencebikan bibirnya tetapi tetap fokus pada sotonya.
Merasa tak enak dengan Imam, akhirnya dengan terpaksa aku duduk di samping Imam. Dan benar saja, aku langsung dapat melihat wajah Rean dari sini. Aku bisa melihat Rean sesekali melihatku sambil mengobrol dengan temannya. Ketika kudapati matanya melirikku, ia langsung sadar dan mengalihkan pandangannya pada temannya lagi.
"Gue pesan makanan dulu guys, laper bet dah." Kintan berdiri meninggalkan ku dengan Imam.
"Ngapain nyariin gue qil? Jangan bilang mau marah-marah karena kejadian kemarin." Imam langsung bisa menebak tujuanku. Anak pintar.
"Ya apalagi emang? Kamu nggak mikirin kesehatan temen ya mbel?! Kamu tahu nggak? Dia ngasih aku teh pelangsing! Aku tu udah baik banget mau luangin waktu untuk nemenin kalian ngedate. Eh malah jadi tumbal!" Ku sembur Imam dengan cercahan dashyat.(eh hyperbola!) tapi suara ku tidak keras, sehingga tak menimbulkan perhatian dari orang-orang. Tentu saja aku malu jika Rean tahu aku sedang marah-marah.
"Eh sumpe lu? Beneran dia ngasih lo teh pelangsing? HAHAHAHAHA! Ngakak anjir." Imam malah tertawa terbahak-bahak.
"Nggak lucu tau. Kamu pikir itu hal sepele? Ninggalin orang yang saling nggak kenal berdua aja." Kataku sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jariku.
"Yaudah sih, kan aku jemput juga pulangnya. Nggak lama kan?" Imam menjawabku dengan santai.
Namun tiba-tiba aku mendengar samar,
"Yang itu? Miqailla Devania kak." Itu suara Kintan menyebut namaku. Sontak kucari dimana Kintan. Dan jantungku rasanya mau copot, ketika kulihat Kintan memegang semangkuk bakso sedang berbicara dengan kakak kelas 12, yang tidak salah namanya kak Redo. Ya, namanya Redo. Aku tahu karena dia lagi dekat dengan teman sekelasku si Nina. Dan orang itu sedang duduk bersama rombongan Rean. Ya! Tentu saja ia termasuk dalam rombongan itu."Noh re, udah denger lu nama lengkapnya kan? Udah, langsung aje bro! Tinggal nyari binti siapa tuh anak." Kata kak Redo kearah Rean.
Rean menjawab dengan senyum sinis kemudian mengalihkan mukanya ke luar kantin.
Lucu sekali, kemarin dia begitu berani denganku. Dia bertingkah seakan-akan kami sudah mengenal satu sama lain sedari lama. Namun sekarang? Bisa-bisanya dia menatapku malu-malu begitu.
Kalian tahu sekarangkan, kepribadian Reanku ini? Pandai sekali dia membuatku jatuh hati padanya.
Rean, aku tak perlu meminta izin padamu kan untuk jujur? Karena kau selalu berkata iya bahkan sebelum aku bertanya. Aku ingin bilang, aku mencintaimu bahkan hanya dengan serpihan tingkahmu. Sedari waktu itu, bahkan sampai sekarang ketika aku menulis cerita ini untukmu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Votmment jangan lupa sayy💋💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Rean
Teen FictionKisah ini diceritakan berdasarkan sudut pandang perempuan yang mendikte masa lalunya tentang cinta klasik anak remaja yang selalu dirundung perasaan bimbang dan penyesalan. Menorehkan potongan-pontongan perbuatan labil anak remaja pada umumnya...