"Qilla!" Seseorang menepuk pundakku pelan kemudian menarikku ke belakang."Kenapa si Rean?" Kata-kata imam membuatku merasa bersalah. Imam seperti ingin tahu dariku karena aku pacarnya Rean. Tapi aku malah tak berbuat apapun tadi.
"Aku juga gak tahu mbel." Kataku dengan nada sedih. Siswa lain sudah datang mengerubungi Rean yang masih ditahan Kak Dion.
Aku dibawa teman-temanku mendekat ke arah Rean. Sedangkan bu Desi sudah pergi menuju kantor. Aku bimbang saat ini. Aku ingin secepat mungkin sampai ke Rean, memeluknya dan meredakan emosinya. Namun aku juga malu untuk mendekati Rean. Aku tahu Rean sadar bahwa aku melihat kejadian itu sedari tadi. Aku malu ke Rean, karena aku tak mencoba berada di dekatnya dalam posisi seperti itu.
Aku tak sadar ternyata Rean sudah diberikan minum. Ia juga tampaknya sudah tidak emosi lagi. Kak Dion yang kulihat masih dengan wajah seriusnya sedang bicara pada Rean. Namun Rean menanggapinya dengan biasa saja bahkan sesekali dengan tawa yang tulus.
Aneh ya? Reanku ini bisa berubah-ubah sebegitu cepat. Rean, kau ini tampaknya senang sekali melihatku bingung.
Aku hanya diam mematung didepan Rean. Kulihat dia tersenyum padaku dengan tatapan sendunya. Kemudian ia menggapai tanganku.
"Qilla, jangan cemas" katanya
"Kamu kenapa si?! Nggak bisa sekali aja jangan buat ulah?" Cercah ku. Kulihat murid lain disuruh pergi oleh teman-temanku, dan Kak Dion meninggalkan kami.
Rean menghela nafas, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah samping.
"Aku nggak suka cara dia ke aku. Dia benci sama aku" katanya dengan muka serius. Kecil hati sepertinya Reanku ini pada Bu Desi.
"Kenapa emangnya?" Aku menurunkan nada bicaraku. Seakan merasakan sakit hatinya Rean pada Bu Desi.
"Dia nggak mau terima tugas-tugasku. Terus dia bilang ke guru lain untuk gak suka juga ke aku. Aku gak tahu dia sengaja atau gimana." Katanya menjelaskan padaku.
"Terus?" Sahutku seakan tahu, pasti masih ada perlakuan Bu Desi yang membuat Rean bisa semarah itu.
"Aku udah berusaha buat tugasnya dia, walaupun salah semua. Aku dapat nol. Dan dia mau masukin nilai aku yang nol itu. Aku mau minta setidaknya hargai sedikit usahaku yang masih mau berhubungan baik sama dia. Ternyata dia tetep gak suka sama aku qilla." Rean sedikit bergetar menahan emosinya yang tampaknya mulai naik lagi karena menceritakan perlakuan Bu Desi padanya.
"Rean, denger aku. Aku ngerti kamu sakit hati. Tapi perlakuanmu pada Bu Desi tadi sudah diluar batas. Katamu, kamu tahu mana yang merugikan ambu dan mana yang tidak? Hal itu tadi bisa merugikan ambu. Ambu bisa dipanggil ke sekolah Rean." Kataku berusaha menenangkan Rean. Membayar rasa bersalahku tadi.
"Iya" jawab Rean pertanda ia mengerti.
"Sudah qilla, pergilah ke kelas. Sudah masuk" sambungnya dengan senyuman padaku.
Aku hanya mengangguk dengan membalas senyumannya dan mengelus sedikit lengannya lalu berlalu meninggalkan Rean.
***
"Gimana Rean?" Tanya Nina yang duduk di belakangku.
"Gitu lah" jawabku seadanya.
"Bisa gitu ya, marahnya" lanjut Nina
"Aku juga baru tahu nin" aku menjawab dengan senyum kecut.
"Lo gak takut emang?"
"Takut sama Rean?" Tanyaku balik.
"Itu juga, tapi maksud gue takut kalo guru-guru tahu lo pacarnya si murid bandel" jawab Nina.
Aku melongo. Sepertinya benar kata Nina. Hubunganku dengan Rean benar-benar bisa menggangu kestabilitasan reputasiku. Bingung lagi aku dibuatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Rean
Teen FictionKisah ini diceritakan berdasarkan sudut pandang perempuan yang mendikte masa lalunya tentang cinta klasik anak remaja yang selalu dirundung perasaan bimbang dan penyesalan. Menorehkan potongan-pontongan perbuatan labil anak remaja pada umumnya...