Chapter 10

122 11 4
                                    


     "Rean." Panggilku setelah cukup lama kami saling terdiam.

"Apa qilla?" Jawabnya dengan suara khas sendunya. Namun ia tetap fokus pada jalan yang sedang kami tempuh.

     Lama aku diam. Berpikir apakah ini harus aku katakan atau tidak. Sampai akhirnya keputusan menyambangiku.

"Aku pikir kita.." Belum selesai aku bicara, Rean sudah memotong perkataanku.

"Qilla kamu tahu nggak? Aku paling nggak suka akhir. Kecuali satu." Selanya.

"Apa?" Kujawab. Kupikir Rean sudah tahu hal apa yang akan kubahas.

"Akhir pekan" jawabnya yang berhasil meloloskan satu senyuman dibibirku.

     Ya, itulah Reanku. Dia selalu tahu titik-titik yang membuatku bahagia. Bahkan disaat dia sendiri sedang dirundung lara.

      Aku tahu, Rean diam sedari tadi pasti karena bimbang. Ia memikirkan kejadian tadi. Karena aku, ia menjadi seseorang yang dipandang pecundang oleh musuhnya. Dan harus bermasalah dengan teman-temannya. Sedangkan aku tak bisa hanya diam, jika aku tahu Rean sedang dalam bahaya. Karena itu, aku berpikir kami akan saling membebani jika terus dekat seperti ini. Lebih baik aku tidak tahu apapun tentang Rean.

"Rean, kita beda." Kataku pelan sekali. Otakku sangat ingin mengatakan ini. Namun hatiku serasa tak tega. Aku berharap Rean tak mendengar. Tapi setidaknya aku lega sudah mengatakannya.

"Iya tahu. Aku bin, kamu binti." Kata Rean menjawabku. Ternyata dia mendengar kata-kataku.

"aku tahu kamu pasti ngerti maksudku. Jangan pura-pura gitu." Kataku mulai kesal dengan tingkah konyolnya.

"Kenapa? Aku kan nggak jadi." Katanya.

"Aku nggak tenang Rean." Kataku menahan sembilu dihatiku. Sakit sekali hati ini saat mengatakan itu.

"Kamu khawatir? Berarti kamu juga udah mulai suka sama aku kan?" Jawab Rean sedikit berbalik kebelakang, kearahku.

"Rean.." aku akan menjawab ketika Rean memotongku lagi.

"Qilla, aku nggak akan pernah lepasin perjuangan aku. Aku sayang sama kamu. Apapun kata kamu sekarang, aku nggak peduli. Yang aku tahu, aku janji bakalan lebih baik dari ini." Perkataan Rean membuatku serasa akan terbang. Namun cepat-cepat aku sadar akan maksud dan tujuanku tadi.

"Aku baik-baik aja sebelum ketemu kamu." Kataku menunduk. Menyesal kenapa jadi seperti ini. Seandainya saja Rean, ah sudahlah.

"Kamu akan lebih baik lagi kalau sama-sama aku." Jawab Rean, nampaknya ia sama sekali tak merasa tersinggung akan kata-kataku.

"Maksudku, aku tak memikirkan beban apapun waktu itu." Kataku semakin dalam. Maksudku hanya satu. Agar Rean menjauhiku. Agar tak ada lagi yang saling membebani. Ini juga demi Rean.

"Qilla, sejauh apapun kamu berusaha pergi dari aku, aku nggak akan pernah jauh dari kamu." Rean masih dengan suara sendunya. Namun bisa kudengar ia sedikit tertahan.

"Aku bakal buktiin ke kamu, kalo aku bisa lebih baik Qilla." Katanya lagi berusaha meyakinkanku.

"Jangan ke aku, kalo kamu belum bisa buktiin." Kataku tegas kali ini.

     Waktu itu aku hanya punya dua harapan untuk Rean. Menjauh atau berubah. Kupikir aku akan bisa menerima Rean jika ia sudah sama seperti ku.

"Jadi nggak boleh ketemu?" Tanya nya serius.

"Sampai kamu bisa lebih baik." Jawabku ketus.

     Rean tak menjawabku. Ia hanya diam tak bergeming. Namun semakin cepat memacu motornya. Aku pun tak ada niat untuk membuka percakapan lagi. Kurasa semua tujuanku sudah tercapai.
.
.
.
     Aku sampai rumah dengan selamat. Rean yang ku ajak untuk mampir dulu, menolak tawaranku. Alasannya ingin menemani ambunya ke pasar. Aku tak tahu dia berbohong atau tidak. Bukan apa, sangat tidak meyakinkan seorang Rean ingin kepasar. Namun lebih baik jika aku tidak bertanya panjang lebar padanya disaat seperti ini. Aku tahu, walaupun ia berbohong, mungkin ia punya alasan yang penting. Semoga saja ia tidak kembali ke pertempuran tadi.

Dia, ReanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang