Untuk ke sekian kalinya, kudapati diriku dalam keadaan merindu. Aneh, bahkan asing. Aku sebelumnya sama sekali tak tahu bahwa di dalam diriku punya sisi lemah dalam hal cinta seperti ini. Kalian pasti tahu pada siapa rindu ini bertumpu.Rasa kesal, menyerah, dan sesal saling beradu argumennya masing-masing dihatiku. Semakin aku mencari cara untuk melupakannya, semakin aku tersiksa karenanya. Aku tak tahan lagi. Akan kutemui Rean, agar hilang bebanku.
.
.
.
.Kecamuk berbagai perasaan masih betah berada di hatiku. Namun aku bersikeras untuk tetap menemui Rean. Ku lewati sepanjang koridor kelas 11 dengan mata mencari sosok lelaki itu.
"Mana sih? Biasanya keluyuran." Kataku pada diri sendiri.
Lama aku mencari, sampai rasa putus asa menyambangiku. Aku berhenti berjalan kemudian mengarahkan tubuhku ke arah lapangan, berpangku dagu ke atas pembatas koridor. Aku merasa Tuhan memang tak mengizinkanku menyelesaikan masalah ini pada Rean. Mungkin cukup sampai disini kedekatan kami. Tak ada lagi hal yang bisa diperbaiki. Aku menghela nafas panjang. Berharap setidaknya bersamaan dengan nafas yang terbuang itu, bebanku pun sedikit hilang.
"Katanya nggak boleh ketemu sampai aku bisa berubah, tapi kamu ndiri yang nyariin." Ucapnya tiba-tiba dan mengambil posisi disebelahku.
"Heh, akhirnya ketemu. Capek aku." Kataku dengan senyuman miring. Menutupi gerogi dan berusaha bersikap biasa saja.
"Aku liat dari tadi. Liat dari situ." Katanya menunjuk kursi yang ada di pojokan koridor dan memang agak condong ke dalam.
"Pantes aku nggak keliatan. Kenapa cuma liat?" Kataku mulai cemberut.
"Cuma mastiin kamu aman aja." Jawabnya santai diiringan dengan helaan nafasnya.
"Dari?" Tanyaku sekenanya.
"Apapun itu." Jawabnya kemudian melihat ke arahku dengan tatapan sayunya.
"Aku bukan anak kecil Rean." Jawabku dan mencoba memberanikan diri untuk menatapnya balik.
"Aku tahu." Katanya lagi.
"Kenapa harus dilindungi?" Tanyaku lagi.
"Iya." Jawabannya sangat singkat, namun menyayat hatiku. Sepertinya Rean tak mau lagi memperpanjang percakapan kami. Apa dia sudah benar-benar kesal padaku?
"Ternyata Tuhan memang benar atas aturannya yang menyalahkan orang-orang yang merasa benar dan tidak mau mendengarkan penjelasan yang sebenarnya benar. Katanya lagi.
Aku berusaha mencerna kata-katanya. Dia hanya tersenyum kemudian menatapku lagi.
"Udah, ga usah dipusingin kepalamu sama kata-kataku." Katanya tertawa dan tangannya mengacak rambutku.
Sedetik kemudian aku sadar, Kata-kata itu seperti menyinggungku. Seperti Rean ingin bilang kalau aku ini salah. Dan hanya merasa benar dengan diri sendiri serta tak mau mendengarkan apa penjelasannya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa?" Kataku mulai bergetar. Aku ingin bilang 'apa yang sebenarnya ingin kamu jelasin Re? Jelasin ke aku, aku janji bakal dengerin kamu dan bakal terima penjelasan kamu. Maafin aku Rean.' Tapi aku terlalu terguncang. Jika ku teruskan, Rean akan tahu kalau aku sedih saat ini.
"Bukan apa-apa." Katanya kembali santai lagi.
Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Kuraih tubuh Rean dan kupeluk dia sangat erat. Tak peduli kami sedang berada dimana dan berapa pasang mata yang melihat. Aku hanya ingin menangis saat ini. Menyadari kesalahanku, mengakui penyesalanku, mengakhiri keegoisanku, memperbaiki kebodohanku di bahu Rean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Rean
Teen FictionKisah ini diceritakan berdasarkan sudut pandang perempuan yang mendikte masa lalunya tentang cinta klasik anak remaja yang selalu dirundung perasaan bimbang dan penyesalan. Menorehkan potongan-pontongan perbuatan labil anak remaja pada umumnya...