Chapter 6

130 13 12
                                    


Nina menggandeng tanganku sambil menceritakan hal-hal romantis yang dilakukan kak redo padanya. Sedangkan, aku hanya menjawabnya dengan pura-pura tertarik. Kalian pasti sudah tau alasannya. Yang pertama, aku tidak tertarik dengan cerita romance yang pure dengan kemanisan. Menurutku hal seperti itu terdengar sedikit lebay.

Alasan yang kedua, mendengar nama redo, aku jadi semakin memikirkan kejadian dikantin 2 hari yang lalu. Ketika ku tanya alasan kak redo menanyakan nama panjangku, kintan hanya menjawab tak tahu sambil menyantap baksonya.

Bukan kepedean. Tapi, mendengar percakapannya dengan Rean waktu itu, aku jadi berpikir pasti Rean sudah menceritakan tentangku dengan rombongannya. Kemungkinan satu-satunya, pasti ia menceritakan tentangku yang ceroboh datang kerumahnya. Dan dengan senang hati ia suguhi teh pelangsing untuk mengerjaiku. Terbayang di benakku ia bercerita dengan rombongannya sambil tertawa-tawa geli. Ah tunggu! Aku juga mendengar Kak redo bilang tentang 'binti'. Apa maksudnya itu?

Lamunan dan langkah ku berhenti diikuti dengan Nina disebelahku. Ketika kulihat Rean juga berhenti di depanku. Dia menggunakan jaket dan kepalanya ditutupi hoodie yang juga hampir menutupi sebagian keningnya. Tangannya dimasukkan ke dalam kantong jaket didepan perutnya.

"Mau kemana?" Katanya menatapku.

"Ke kantin." Kataku sambil menunduk. Tak berani menjawab sambil menatap matanya.

Sejurus kemudian, aku mencoba untuk berani dengan berusaha menerobosnya. Namun ketika aku maju, ia langsung menghadangku dengan tangan kanannya. Sehingga aku terhenti.

"Masih jam 9 kurang. Belum istirahat. Mana boleh ke kantin?" Katanya sesudah melihat jam tangan hitam di tangan kirinya.

"Kamu dari kantin kan?" Tanyaku protes.

"Intinya, anak baik nggak usah ke kantin pas jam belajar." Rean mengejekku lagi.

"Itu siapa sih namanya? Si Ina kan? Yg lagi deket ama Redo, bandar gue dong!" kemudian dia bicara pada Nina dibelakangku.

Sontak saja, Nina yang memang pemalu berubah ekspresinya jadi takut karena merasa dipalak.

"Nina, bukan Ina." Kataku membela Nina.

"Aku maunya Ina, Qilla." Katanya kembali menatapku dengan tatapan sayu nya.

Rean, mengingat tatapan mu itu, rasanya aku masih ingin terbang sampai sekarang.

Aku langsung menunduk ketika melihatnya menjawabku dengan tatapan seperti itu. Entah kenapa, mungkin aku malu. Kemudian ia menurunkan tangannya yg terulur tadi. Seakan sadar dengan ekspresi Nina yang ketakutan karena ulahnya, Rean kembali bicara pada Nina.

"Udah biasa gue mah nggak dapet." Katanya melihat ke arah Nina sambil mengangguk. Seakan berkata 'its okay'.

Aku berbalik melihat ekspresi Nina yang tegang, langsung berubah jadi lebih tenang ketika mendengarnya berkata seperti itu.

Aku dapat satu kesimpulan dari Rean. Berarti Rean bukan orang yang akan marah kalau tidak di kasih. Aku bisa tau karena dia bilang 'sudah biasa'. Setidaknya Rean tidak se-berandal apa yang kubayangkan.

"Nih gue ada 500 perak doang. Nggak ada uang kecil." Nina memberikan recehan dari kantongnya.

"Gapapa dah, penting dapet choy." Katanya agak bersorak.

Dan satu kesimpulan lagi. Dia memang suka minta uang ke murid lain. Tapi bukan seperti pemalak ulung yang harus dikasih uang. Ia hanya meminta seikhlasnya. Dan tidak akan marah jika tak diberi. Berapapun nominalnya, ia akan terima. Ia juga mengerti jika murid lain tak akan mau memberikannya uang dengan nominal besar. Ia cukup tau diri.

"Balik gih ke kelas. Blm istirahat." Katanya menghentikan lamunanku.

Aku menatapnya lagi, dan kemudian berbalik badan diikuti dengan Nina.

Rean mengayunkan tangannya seakan menggiring kami seperti sedang menghalau jalannya anak-anak bebek agar masuk ke kandang.

"Iyaa, pinterr" katanya masih tetap menghalau kami.

Aku hanya terdiam, tak tahu juga memikirkan apa saat itu. Kurasa hal itu juga dialami si Nina. Tak terasa kami sudah tak mendengar suara langkah rean lagi dibelakang. Aku berbalik badan. Dan benar, rean sudah menghilang entah kemana. Kemudian aku tersadar.

"Nin, ngapain kita jadi ikutin kata-katanya si Rean sih?" Kataku berhenti dan meletakan tanganku dipinggang.

"Lah mana gue tahu, gue ikut lo aja tadi." Jawab Nina dengan tampang bingung.

Sekali lagi, aku terbuai oleh serpihan tingkah Rean.:)
.
.
.
Aku akan kembali ke kelas setelah melepas lega dari toilet. Ketika tiba-tiba kurasakan seseorang menarik tanganku secara paksa. Sontak aku meronta.
Namun cepat sekali aku sadar ternyata itu Rean. Lagi.

"Apaan sih?!" Kubentak Rean seraya melepaskan tanganku yang dicengkramnya kuat.

"Ngobrol yuk?" Katanya dengan santai.

Bayangkanlah, dia bertingkah seperti pedofil hanya untuk mengajakku ngobrol.

"Nggak. Aku ada tugas." Jawabku sekenanya.

"Mass! Dimas!" Teriaknya memanggil temannya yang kebetulan lewat dan mengabaikan jawabanku.

"Apa kata jeky? Itu barangnya ditas gue. Ambil gih, sekalian." Katanya memerintah ketika si Dimas sudah di depannya.

Jujur saja, aku curiga saat itu. Barang apa yang dibawanya. Tanpa sadar aku hanya melongo menatapnya.

"Jadi, re. Pulang sekolah langsung ke warbuk. Gue kabarin yang lain dulu." Jawab si Dimas langsung lari meninggalkan kami.

"Jangan mikir yang lain-lain qilla. Senakal-nakalnya aku, masih tau mana yang merugikan ambu mana yang enggak." Katanya seperti tahu apa yang aku pikirkan.

"Iya." Jawabku tak tahu harus berkata apalagi. Antara percaya atau tidak.

"Nggak." Katanya lagi. Aku menoleh ke arahnya lagi.

"Apa?" Ku tanya.

"Aku mau bilang nggak aja, biar saling melengkapi. Kamu iya, aku nggak." Katanya menjawabku dengan tidak menoleh ke arahku.

"Nggak kompak dong?" Kataku.

"Jadi kamu maunya kita kompak?" Jawabannya membuatku sadar. Iya, kenapa harus kompak?

"Nggak." Kataku lagi.

"Iya aja ya? Biar kompak." Ia berkata seraya melihat ke arahku dan dengan pandangannya yang sendu.

"Aku ke kelas ya, masih ada tugas." Kataku mengabaikan perkataannya. Dan langsung pergi meninggalkannya tanpa mendapat persetujuan. Ia juga tak mencegahku lagi.
.
.
.
.
.
Aku akan pulang, ketika kulihat ada Kintan dan Imam di dekat gerbang. Namun tak jauh dari gerbang, dapat kulihat ramai anak-anak sedang duduk di atas motor-motor yang sedang parkir.

"Miqailla! Pulang bareng nggak?" Kintan memanggilku. Aku buru-buru mendekat ke Kintan dan Imam.

"Lo mau ikut jenguk riri? udah 3 hari dia nggak masuk. Atau mau ditemenin aja ke depan cari taksi?" Kata Kintan. Sekolah ku memang masuk gang yang tidak terlalu kecil. Jadi kalau mau naik taksi harus jalan sampai depan gang.

"Aku mau pulang aja deh, banyak banget tugas. Tapi nggak usah ditemenin. Gapapa, biasanya juga sendiri." Kataku tak ingin merepotkan mereka.

"Emang lo berani? Ntar lo diapa-apain lagi." Imam ikut angkat suara.

"Diapa-apain sama siapa? Emang ada apa?" Aku bingung sekali dengan sikap kedua temanku ini.

"Tuhkan emang bener-bener lo tu nggak pernah peduli lingkungan ya qil. Gue kasih tau ya, dudecrew sama demondcrew mau berantem lagi katanya. Noh di warung depan gang udah rame." kintan menjelaskan padaku. Dude dan demond itu kubu-kubu anak nakal disekolahku yang memang sering berantem.

"Berarti rombongan Rean?" Tanyaku dan dijawab anggukan oleh kedua temanku.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Jangan lupa votmment yaaa😘💞

Dia, ReanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang