"Assalamualaikum bu," kataku sambil membuka pintu ruangan ibuku. Kemudian mendekati ibuku dan mencium keningnya.
"Ini tv nyala?" Suara Rean membuatku menoleh ke arahnya.
"Katanya mau jenguk ibu? Malah nanyain tv. Kalo mau nonton ya di rumah aja." Kataku sinis ke Rean.
"Yaudah sih, galak amat. Noh jepit mau jatoh." Jawab Rean sambil membesarkan volume tv. Sontak aku meraih jepit yang menahan poniku. Sesaat aku teringat tentang jepit yang diberikan Rean kemarin.
"Kamu dapat darimana jepit yang kamu kasih ke aku kemarin? Sama persis pula." Tanyaku yang berhasil membuatnya mengalihkan pandangan dari tv.
"Pengen kenalan aja. Kebetulan si Rena lewat." Katanya kembali menatap televisi.
"Terus?" Anak itu memang selalu berkata gantung. Penjelasannya sama sekali tak menjawab pertanyaanku.
"Aku lihat waktu kamu marah-marah sama aku yang sambil nunjuk-nunjuk, pake jepit yang sama kayak punya si Rena. Jadi pas dia lewat aku minta jepitnya, sekalian traktiran." Katanya berbelit. Aku cerna sebentar kata-katanya baru menjawab.
"Jadi kamu sering perhatiin si Rena dong? Sampe tahu jepit yang aku pake sama kayak punya rena?" Jawabku menggodanya.
"He'em." Jawabnya dengan tampang polos. Dan tetap menatap layar televisi.
Aku langsung tercengang dengan jawabannya. Kukira ia akan menolak pernyataan sekaligus pertanyaan ku tadi. Tapi ternyata ia menyetujuinya bahkan dengan santai dan tanpa beban. Apa-apaan ini? Tadi ia menyatakan perasaannya semanis mungkin hingga membuatku ingin terbang. Tapi sekarang ia bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
Pernahkah kalian merasa seperti sesaat dibuat terpikat namun sekarang seolah tak pernah diingat? Begitu aku dibuatnya. Aku sendiri bingung. Jika aku menganggap ini hanya ketertarikan sesaat, mengapa aku terluka hebat?
Rean beranjak dari sofanya, mendekati ranjang ibu yang sedang terbaring. Tepat disamping aku berdiri. Aku sontak menjauh darinya. Bukan karena marah, Aku kecewa. Hatiku merasa sakit sekali saat ini. Seakan ia ingin melupakan dan meninggalkanku karena aku tak memberinya jawaban tadi. Aku merasa ia mengungkapkan perasaanya tidak dengan rasa sayang yang tulus.
Aku memandanginya dengan tatapan bingung. Berharap ia akan bertanya atas apa yang aku rasakan. Tapi ia sama sekali tak melirik wajahku. Sama sekali tak memperdulikan perasaanku. Ia semakin dekat dengan ibuku. Kemudian Rean duduk di kursi samping ranjang ibu.
"Bu, qilla nggak kenalin aku ke ibu ya? Yaudah aku kenalin diri sendiri aja. Aku Rean bu. Singkatan dari Andre Andhana. Sekarang masih jadi temennya Qilla. Tapi dikit lagi jadi menantu ibu. Hehe" katanya dengan wajah malu-malu. Seakan ibuku sedang menatapnya sekarang.
"Gak akan." Kataku. Aku tidak akan terbuai lagi dengan sikap manisnya. Sedetik kemudian ia pasti akan menjatuhkan ku lagi. Aku tau ini sedikit berlebihan. Tapi aku tak bisa menahan rasa sakit dihatiku. Semua kata-katanya hanya fiktif belaka.
"Maksudnya?" Rean bertanya padaku dengan wajah serius.
"Aku gak mau jadi pacar kamu." Kataku dengan tegas.
"Karena? Rena?" Ia bertanya dengan mengerutkan alisnya kali ini. Aku hanya diam. Tak menjawab pertanyaanya.
"Baiklah." Katanya kemudian mengalihkan pandanganya lagi ke ibuku.
"Kalo kamu memang suka ke aku, kenapa kamu jujur ke aku kalo kamu juga suka Rena?" Tanyaku bergetar, karena mengeluarkan emosiku.
"Aku nggak suka ke Rena." Jawab Rean datar menundukan kepalanya. Seperti merasa bersalah.
"Tapi kamu perhatikan dia." Bela ku dengan sama datarnya.
"Aku cuma nggak mau nolak pendapat kamu qilla. Aku akan bilang iya, apapun katamu. Aku akan bilang iya, walaupun kamu belum bertanya. Aku akan mendukung semua perbuatanmu. Qilla paham sekarang?" Rean berkata dengan lembut, namun begitu menusuk hatiku. Aku tercekat. Bahkan tidak menyangka ia akan berkata begitu.
"Bahkan ketika itu menyakitiku?" Kali ini air mataku sudah membuat tempatnya sendiri di pelupuk mataku.
"Qilla, kenapa?" Tanya Rean begitu sendu. Ia bangkit dari duduknya untuk berjalan mendekatiku.
"Aku mau kamu pulang Rean." Jawabku sembari menghapus air mataku dan menjauh darinya.
"Tapi kamu belum jawab aku." Kata Rean dengan wajah bingung sekali.
"Kamu bilang akan menyetujui semua pendapatku." Jawabku sambil berbalik badan.
Bisa ku rasakan Rean menjauh. Kemudian aku berbalik, kulihat Rean sudah menutup pintu ruangan dari luar tanpa sepatah kata pun. Aku benar-benar sedih. Aku tidak tahu apa yang membuatku benar-benar sesedih ini. Otakku tak menginginkan Rean disini. Tapi hati kecilku sangat menginginkan Rean kembali ke sini.
Aku tahu kalian kesal denganku. Tapi percayalah, saat itu aku masih remaja. Masih tak handal dalam mengontrol emosi. Rean ketahuilah, aku bahkan merasa sakit hati saat itu. Namun aku bersikap seperti aku tak memperdulikanmu. Ya Rean, aku tahu aku sangat bodoh waktu itu.
.
.
.
.
Aku berjalan dengan Riri disampingku. Ya, riri sudah sembuh dan masuk hari ini. Kami akan ke perpus sekarang mencari Kintan. Kami sudah mencarinya dimana-mana. Tapi ia tak dapat ditemukan (ceileh).Aku membuka sepatuku, akan masuk ke dalam perpus. Namun Riri hanya duduk di kursi panjang depan pintu perpus.
"Ngapain ri?" Tanyaku heran."Lo aja deh yang masuk. Repot gue pasang sepatu ntar." Jawab riri yang sudah berkeringat karena kami tadi berkeliling mencari Kintan.
"Emang pemales kamu mah." Kataku langsung ngacir ke dalam perpus.
Aku mencari keberadaan Kintan. Ku edarkan pandanganku ke seluruh perpus. Ah! Itu Kintan disana. Di bawah AC sambil memegang ponselnya. Segera aku mendekatinya.
"Kin, dicariin dimana-mana juga." Kataku langsung duduk di sampingnya.
"Eh nyariin? Ini lagi ngadem. Tadi olahraga soalnya." Jawab Kintan dengan cengiran andalannya.
"Udah yuk ke depan. Si Riri nungguin tuh." Ajakku yang langsung berdiri.
"Lah kenapa nggak masuk? Ini lagi enak banget adem." Kintan menolak ajakan ku.
"Males buka sepatu dia. Ribet masangnya." Jawabku kemudian menarik tangan Kintan untuk berdiri juga.
"Iyaa-iyaa. Bentar." Katanya sambil merapikan barang-barangnya.
Baru kami akan keluar, aku dipanggil Susan. Teman sekelasku juga. Ia kebetulan mencari buku sejarah yang merupakan tugas dari bu Lena. Aku menghampirinya dan menyuruh Kintan keluar duluan. Karena kalau Kintan menungguku, bisa marah si Riri yang menunggu dari tadi.
.
.
.
Aku akan keluar dari perpus, ketika kulihat Rean dan kedua temanku di depan perpus sedang bercakap-cakap. Aku bisa tahu dari gerak-geriknya pasti Rean sedang meminta traktiran.Aku beranikan diri untuk tetap keluar. Aku penasaran dengan tingkah Rean jika bertemu denganku setelah kejadian kemarin. Namun ketika aku sudah akan mendekati teman-temanku, Rean segera pergi meninggalkan mereka dengan melambaikan tangan. Dan tidak menoleh kepadaku sama sekali.
"Kenapa dia?" Tanyaku pada teman-teman.
"Biasa malak." Jawab Riri.
"Kalian kasih?" Tanyaku lagi.
"Belum sempat mau nolak, dia udah pamit pergi aja. Emang labil tu anak." Jawab Kintan kali ini.
Aku segera berpikir kalau ia sengaja buru-buru pergi karena melihat aku akan menghampirinya. Ada apa dengannya? Dia marah karena kemarin? Atau dia ilfeel denganku karena aku dianggap terlalu berlebihan kemarin? Aku sangat menyesali perbuatan kemarin.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
..
Bersambung
Jangan lupa vote yaaa😘💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Rean
Teen FictionKisah ini diceritakan berdasarkan sudut pandang perempuan yang mendikte masa lalunya tentang cinta klasik anak remaja yang selalu dirundung perasaan bimbang dan penyesalan. Menorehkan potongan-pontongan perbuatan labil anak remaja pada umumnya...