Chapter 13

66 5 0
                                    

Aku berjalan di samping Rean ketika kami sedang dipasar. Rean menemaniku membeli kebutuhan dapur. Memang biasanya bi Atun, namun kali ini Rean memaksaku untuk kami yang membelinya. Modus kali si dia hihihi..

"Haus" katanya tiba-tiba.

"Mau minum?"

"Nggak" jawabnya membingungkanku.

"Lah terus?"

"Mau kamu aja hehe"

"Aku serius Rean" kataku dengan muka sebal, namun sebenarnya hatiku berbunga.

Jangan tertawakan aku Re, ini benar-benar apa yang kurasakan dulu.

"Ibu baik?" Tanyanya tak menggubris perkataanku.

"Hah? Iya" aku senyum miris.

"Abis ini jenguk ibu mau?"

"Langsung dari pasar gini?" Aku balik nanya.

"Iya, kangen sama ibu" jawabnya dengan senyuman dan menatapku sendu.

"Sama ibu doang kangennya?" Aku menggoda Rean.

"Iya" jawabnya cuek.

Kupikir aku tak salah jika kubilang kau itu jahat Rean.

"Kan aku lagi sama kamu sekarang. Nanti kalo ku bilang kangen sama pacarku juga, malah ketahuan terus kamu jadi cemburu" lanjutnya panjang.

"Kenapa cemburu?" Tanyaku

"Iya yah, kenapa cemburu?" Ia balik nanya. Nggak jelas.

"Oh ngerti! Pacarmu bukan cuma aku ya?" Kataku mengacungkan telunjukku. Lagi.

"Kebiasaan qilla itu, nunjuk orang dengan telunjuk cantiknya hehe" katanya menurunkan telunjukku pelan.

Aku tak menjawab. Cuma mencemberutkan mukaku. Aku tahu Rean hanya bercanda. Aku tahu Rean bukan orang seperti itu. Tapi percayalah, aku benar-benar merasa ingin dimanjakan olehnya. Aku ingin dia membujuku dan merasakan semua pedulinya hanya untukku saat itu.

"Udah semua belanjanya?" Tanyanya. Aku hanya mengangguk dengan muka yang masih ditekuk.

"Kalo ngambeknya?" Tanyanya lagi. Aku diam saja, pura-pura tak mendengar.

"Udah ya qilla" katanya kemudian mengacak rambutku lembut.

Inilah yang kumaksud Rean tahu titik-titik bahagiaku. Dia membuatku seolah merasa dunia benar-benar diciptakan untuk kami saling menunjukkan bahwa kami jatuh cinta. Saling ingin melindungi dan membahagiakan.

"Katanya mau jenguk ibu?" Nyatanya aku tak bisa lagi bertahan pada kediaman.

"Iya ayoklah, kasian si Ibu udah kangen."

"Kok ibu? Kan kamu yang katanya kangen?" Kataku mengoreksi.

"Iya sama-sama kangen. Ibu yang bilang sama aku waktu kami ketemu pas ibu sadar nanti." Rean memang tak pernah jelas.

"Hahahaaha" aku tak bisa menahan ketawa.

***

"Kondisi nyonya Linda alhamdulillah sudah membaik. Dia sudah melewati masa kritisnya. Mungkin ini kasus langka di dunia medis, tapi kita sudah bisa melepas alat dari tubuhnya." Pernyataan dokter ini membuatku menjatuhkan air mata. Bukan, aku sama sekali tak sedih. Kali ini aku sangat bahagia.

Disebelahku, Rean hanya merangkul bahuku dari samping sambil tersenyum dan mengucapkan terimakasih pada dokter yang kemudian segera berlalu itu.

"Apa ku bilang. Ibu kangen sama aku" katanya menatapku.

"Iya" aku hanya bisa menjawab sepotong kata. Sedetik kemudian kami mendekati ibu dan suster yang sedang melepas alat dari tubuh ibu.(Kecuali oksigen dan infusnya.)

Aku memeluk ibu erat sekali. Seakan tak akan pernah kulepas lagi. Aku berdoa semoga ibu segera kembali lagi padaku. Aku merasa jadi manusia yang paling beruntung saat ini. Tuhan memberi ku Rean si pembawa bahagiaku. Sekarang Tuhan kembalikan lagi malaikat pelindungku. Seperti aku tak ingin hari ini berubah jadi gelap. Beribu kali ku ucapkan terima kasih pada Tuhan.

Rean duduk di sofa, kemudian dia menatapku masih bertahan dengan senyumannya.
"Kamu nggak mau liat ibu? Katanya kangen?" Kataku

"Kamu aja dulu" jawabnya

"Sama-sama aja kenapa?" Protesku.

"Aku mau ngomong sesuatu sama ibu nanti. Kamu nggak boleh denger makanya kamu aja dulu" pernyataan Rean membuatku tersenyum. Abstrak ku selalu kuat. Rean pasti hanya ingin membahasku dengan ibu nanti.

***

Tidurku terusik, aku mendengar suara ponsel. Ku angkat kepalaku yang tadinya kuletakkan di sebelah ibu. Ya, aku tertidur sambil duduk di sebelah ibu tadi. Aku menoleh kebelakang, Rean masih ada. Rupanya ia juga tertidur sambil berbaring di sofa biasa. Suara ponsel itu berasal dari kantongnya.

Aku berpikir tak ingin mengganggu tidur siangnya untuk membangunkannya mengangkat telfon itu. Makanya aku mendekat dan ingin mematikan ponselnya. Namun ketika ku ambil dan melihat siapa penelpon nya, mataku terbelalak.

Jeky. Nama itu yang tertera di ponsel Rean. Aku pernah mendengar omongan Rean dengan teman se-geng nya. Kalau tidak salah si Dimas. Intinya, si Jeky itu orang yang berpengaruh di geng nakal tersebut. Rean selalu meminta persetujuan Jeky jika ingin berbuat sesuatu di geng nya. Aku langsung berburuk sangka. Pasti si Jeky ini ingin membawa Rean ke arah negatif lagi.

Tanpa sadar, telfon itu sudah tak berdering lagi. Aku masih membengong di depan Rean yang masih larut dalam mimpinya. Tak mengerti apa yang harus ku lakukan agar Rean tak lagi mengikuti semacam kumpulan anak nakal yang merugikan itu. Aku ingin Rean menjadi lebih baik dan tidak membuatku khawatir lagi.

Tinggg! Sebuah pesan masuk ke ponsel Rean yang masih ku pegang. Kubaca pesan itu, dengan nama pengirim yang sama seperti penelpon tadi.

Jeky

Gue gak main-main Re, lo mesti dateng sore nanti!

Apa ini? Rean disuruhnya datang kemana? Aku tak ingin Rean berkelahi lagi. Setidaknya jangan kacau kan hari bahagiaku. Maksudku, aku sudah sangat merasa utuh dengan semua kejadian hari ini.

Dengan langkah cepat, ingin ku hapus pesan singkat dari Jeky itu ketika tiba-tiba Rean merebut paksa ponselnya dariku. Aku sangat terkejut. Rean kasar padaku.

"Kamu ngapain?" Katanya khas bangun tidur.

"Aku nggak mau kamu ikut hal-hal yang gak jelas lagi!" Kataku dengan nada seperti tak ingin dibantah.

"Emangnya aku ikut apa qilla?" Tanyanya tetap lembut.

"Pokoknya aku gak mau tau, sore nanti kamu nggak boleh kemana-mana." Kataku dingin.

"Kenapa?"

"Seharusnya aku yang nanya, kenapa kamu nggak pernah sadar? Semua tentang geng yang kamu ikuti itu nggak ada sisi positifnya Rean. Aku nggak mau lagi liat kamu gabung sama dudecrew." Perintahku.

Waktu itu aku merasa Rean miliku. Aku berhak atas perintah apapun terhadap Rean. Bahkan aku merasa ini kewajibanku sebagai pacar Rean yang ingin melindunginya dari segala macam bentuk bahaya. Dan oleh karena itu, bagiku, Rean wajib mengerti dan mematuhi perintahku.

Rean tak menjawabku. Dia hanya menunduk dan membuang nafasnya sembarang.
"Aku nggak bisa Qilla" jawabnya. Emosiku langsung naik. Aku merasa Rean tak pernah ingin mencoba mengerti maksud baik ku untuknya.

Aku sangat memahami, kalian pasti akan kesal padaku. Bahkan aku pun merasa kesal pada tindakan ku waktu itu. Aku seperti anak kecil yang hanya ingin dituruti kemauanku saja.

Saat ini aku baru menyadarinya Rean. Menurut pandanganku aku ingin menjauhimu dari segala macam hal yang merugikanmu. Namun pada kenyataannya, aku hanya berusaha melindungi perasaanku sendiri agar tak merasa khawatir dan terbebani akan dirimu. Saat ini kau sudah tahukan, bahwa perempuan yang kau jadikan milikmu waktu itu, adalah perempuan yang egois dibalik kedok pedulinya. Maafkan aku Rean.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung

Dia, ReanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang