Sampai rumah dengan selamat aku. Ngeri juga harus berjalan sendiri ketika segerombolan banteng sedang bersiap tempur. Tapi untung saja mereka tidak memperdulikanku ketika aku berjalan untuk mencari taksi sendiri tadi. Mungkin masing-masing sedang sibuk menyusun strategi perang mereka. Sehingga tak seperti biasa, menggoda siapa saja yang lewat sendirian.
Satu sisi aku bersyukur mereka mengabaikanku dan membiarkanku untuk sampai rumah tanpa hambatan. Namun entah mengapa aku tak tenang walau sudah sampai dengan selamat. Aku juga bingung apa yang ku khawatirkan.
Rean! Tidak tidak. Tidak mungkin aku mengkhawatirkannya. Apa urusanku mengkhawatirkan nya? Kenapa juga harus mengkhawatirkan nya? Apa ini!
Tapi aku tak bisa bohong. Aku sungguh gelisah sejak mengetahui Rean tergabung dalam kasus perkelahian ini. Sial! Aku mulai mencurigai diri sendiri. Mulai mengintrogasi diri sendiri. Sebenarnya apa ini.
Kulemparkan tas ku sembarang. Lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas minum. Lalu aku terkesiap melihat seseorang duduk di bangku meja makan.
"Hallu" katanya melambaikan tangan kananya. Kakinya ia lipat di atas kursi dan tangan kirinya memegang ponsel.
"Rean! Ngapain disini?! Kamu masuk lewat mana? Sejak kapan? Siapa suruh?" Kagetku membuat banyak sekali pertanyaan terlontar. Tadi didepan aku sama sekali tak melihat kendaraan apapun yang membuatku tahu bahwa ada tamu.
"Baru, disuruh ibu noh." Katanya menunjuk kebelakang dengan jempolnya. Lalu kembali mengutak-atik ponselnya.
Ibu? Terlonjak aku. Ibuku? Sedetik langsung kulihat ke belakangnya. Tidak ada ibuku! Hanya ada Bi atun. Kecewa. Aku berharap malaikat pelindungku sudah kembali melindungiku lagi. Namun aku kembali disadarkan bahwa itu memang hanya sebuah harapan.
"Ibu yang mana? Ibu kamu?" Kataku lemas dan berjalan untuk meraih sebuah gelas.
"Sotoy sangat. Aku panggilnya ambu. Wah gak dihargai bu. Masa ditanya lagi ibu yang mana." Katanya yang kemudian berdiri menghampiriku yang sedang minum.
Kuhabiskan dulu air digelas, baru menjawab pernyataan si Rean.
"Kamu mah yang sotoy. Itu Bi atun. Bukan ibuku." Jawabku sambil memegang gelas kosong tadi.
Tiba-tiba Rean mengambil gelasku dan memukulnya di sampingku. Aku kaget dan menjauh darinya.
"Apa?" Tanyaku melihatnya dengan tatapan bertanya apa maksud perbuatanya tadi.
"Ini gelas mesti dikasih pelajaran. Main cium-cium pacar orang sembarangan. Kagak pake ijin lagi. Gilak!" Katanya menunjuk gelas kosong tersebut.
Aku melongo. Apa sebenarnya dia ini. Aku masih tak mengerti bagaimana ia bisa masuk. Lalu sekarang, ia membuatku lebih tak mengerti lagi dengan perbuatannya.
"Kamu yang gila. Apaan pacar? Siapa yang cium?" Jawabku mulai kesal.
"Pacar itu kekasih, couple, relationship, emm apalagi ya? Bantu aku dong bi Atun jelasin." Katanya yang super duper dungu.
"Tau aku. Bukan itu yang ditanya." Aku sungguh sudah emosi dengan si Rean ini.
"Kalo ini Bi atun, ibu yang mana? Masih kerja?" Pertanyaannya langsung menghujam hatiku.
Ibuku tidak bekerja. Ia hanya sedang berusaha. Berusaha bangkit dari tidurnya. Berusaha menemuiku, namun ia belum berhasil. Aku tidak ingin mengatakannya. Aku akan menangis jika berterus terang. Aku diam, hanya menatap kosong kedepan.
Rean mengambil jaketnya yang tergantung di sandaran kursi. Dia memakai jaket itu lalu menungkupkan kepalanya dengan hoodie. Ia kembali menatapku seakan menagih jawaban dari pertanyaan nya tadi.
"Dirumah sakit." Kataku lalu menunduk agar Rean tak tau mataku berair.
Rean terdiam. Sejurus kemudian ia memasukkan tanganya ke kantong didepan perutnya.
"Hayulah kita kesana. Jenguk. Calon mertua." Katanya menaik turunkan kedua alisnya dan tersenyum.
"Ibu juga ga bisa liat kamu jenguk dia." Jawabku bergetar. Membayangkan wajah tidur ibuku.
"Horee nggak protes! Gapapa. Nanti ada saatnya liat." Katanya bertepuk tangan seperti anak kecil. Sepertinya ia sudah mengerti kalau ibuku bukan hanya sakit ringan seperti magh, malaria, atau pun disentri.
Seandainya kau bisa membuktikan kata-katamu untuk dilihat ibuku Rean:)
"Gantilah bajumu qilla. Kita kesana ya. aku di depan." Katanya dengan nada perintah. Dan lagi-lagi aku menuruti perintahnya.
.
.
.
.
Aku membuntuti Rean berjalan keluar pagar rumahku. Aku kira Rean akan mengajaku menjenguk ibu dengan taksi. Tapi ternyata salah. Ia menarik tanganku menuju warung kecil sebelah rumahku.Aku tersontak ketika ia memegang tanganku. Rean yang mengetahui kalau aku canggung, langsung mengeratkan pegangannya tanpa sepatah katapun.
"Nggak usah tanya kenapa parkir disini. Biar surprise aja." Katanya tiba-tiba menyadarkanku untuk tahu bahwa ada motornya di sana. Kemudian dia menaiki motornya dan mengkodeku untuk naik dibelakangnya.
"Iya." Jawabku tanpa banyak kata lagi. Aku sudah rindu ibuku.
Dijalan kami hanya sama-sama diam. Tak banyak kata. Hanya sesekali Rean bertanya rumah sakit mana, mau bawa buah atau tidak, ada yang mau dibeli sekalian atau tidak. Aku juga hanya menjawab seadanya.
"Qilla. Aku mau ijin." Rean tiba-tiba memanggilku.
"Ijin apa?" Tanyaku.
"Nanti aku mau bilang ke ibu, anaknya ambu ini mau jadi pacar kamu. Aku sayang sama anaknya ibu. Dan ibu harus setuju ya. Kamu jangan bilang ke ibu ya, kalo aku nggak sebaik cowok-cowok lain. Pokoknya ibu harus setuju aku jadi pacar kamu. Aku tadi aja nggak ikut tempur untuk buktikan ke ibu, kalo aku nggak seburuk yang dipikirin ibu nanti." Rean menjelaskan.
DEG! Aku terkesima. Seperti akan terbang. Dia menyatakan perasaanya? Aku ditembak? Dia menjelaskan pengorbanannya? Aku harus jawab apa?
"Qilla. Kamu kenapa? Malu ya, kalo punya pacar berandalan? Atau karena aku cuma bawa motor matic gini?" Katanya lagi dan semakin membuatku terdiam.
"Aku nggak maksa kamu qilla. Aku sayang kamu, bukan berarti memaksamu untuk menyayangiku." Katanya. "Tapi kalo kamu juga sayang aku, gapapa ya aku maksa ibu untuk terima aku jadi calon mantunya? Ya ya?" Lanjutnya lagi.
"Ini terlalu cepat Rean. Kita baru kenal." Jawabku. Sebenarnya aku masih ragu juga ketika melontarkan jawaban ini. Apa aku benar atau salah.
"Yaudah dianggap lama aja qilla." Katanya sambil menahan tawa.
"Aku nggak bisa jawab sekarang Rean." Jawabku lagi. Aku benar-benar bingung kali ini.
Rean hanya sedikit menoleh ke belakang, lalu tersenyum dengan mengangguk. Pertanda bahwa ia setuju.
Aku menyesal Rean. Bahkan sampai aku menceritakan ini aku masih dengan penyesalan yang sama. Entah seberapa dalam penyesalanku. Seandainya saat itu aku cepat memberimu jawaban. Maafkan aku Rean.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hayoloh ada apa sebenarnya, sampai-sampai Miqailla menyesal segitu dalem? Tetap stay yaaa di sini! Dan jangan lupa votmment nyaaa😘😘😘💋💋💋
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia, Rean
Teen FictionKisah ini diceritakan berdasarkan sudut pandang perempuan yang mendikte masa lalunya tentang cinta klasik anak remaja yang selalu dirundung perasaan bimbang dan penyesalan. Menorehkan potongan-pontongan perbuatan labil anak remaja pada umumnya...