Chapter 11

129 8 5
                                    


     "Woi qil! Buruan! Keburu masuk ntar." Suara imam di depan pintu serasa membungkam mulut teman-teman kelasku.

"Ah iya iya sabar mbel." Jawabku lalu dengan cepat membereskan buku-buku diatas meja.

     Aku berlari kecil menyusul Imam yang sudah bertengger didepan pintu kelasku. Lalu kami segera menuju kantin.
    
     "Lagi, ngapain lo minjam duit ke orang ga dikenal sih? Gue baru tau lo bisa juga sembrono kek gitu. Kan susah nyarinya sekarang." Imam membuka percakapan diantara kami.

"Ya abis mau gimana lagi. Udahlah aku gamau bahas. Yang penting uangnya ku kembalikan." Jawabku tidak semangat.

     Imam tidak melanjutkan percakapan kami. Ia hanya diam dengan kedua tangan disaku celananya. Kami saling membisu. Mungkin ia sudah tahu alasanku murung, dan merasa bersalah karena bertanya tadi.

     Kami sampai dikantin ketika ku lihat ada Riri disana. Riri melambaikan tangannya ke kami dan hanya kubalas senyuman. Ia bersama teman-teman kelasnya. Kami pun merasa tak enak jika ingin bergabung.

"Mau gabung ke Riri atau ke sana aja?" Kata imam padaku sambil menunjuk meja panjang yang kosong dipojok kantin.

     Aku tertegun ketika melihat meja yang ditunjuk Imam adalah meja rombongan Rean biasa duduk. Kemana mereka? Ah tidak, lebih tepatnya, kemana Rean? Kenapa dia tidak ke kantin?

"Gak ah mbel, kita kembaliin uang ini aja, abis tu pulang ke kelas." Kataku masih menatap meja kosong itu.

"Kenapa? Karena itu markasnya dudecrew? Emang lo kenapa sih ama si Rean? Lagi ada masalah?" Imam melontarkan pertanyaan yang bertubi.

     Belum sempat aku menjawab pertanyaan Imam, mataku tepat menangkap orang yang kucari. Dia! Kakak kelas penolong. Iya, tidak salah lagi. Dia yang menolongku kemarin. Tanpa basa-basi, ku hampiri kakak itu. Imam ikut menyusulku dari belakang.

"Ah permisi kak, aku yang kemarin pinjam uang. Ini kak uangnya, makasih banyak." Kataku menyodorkan sejumlah uang.

"Loh, gapapa qilla, aku ikhlas." Jawabnya mendorong tanganku, menolak.

"Ambil aja kak, dia susah orangnya." Kali ini Imam ikut pada percakapan kami sambil menunjuk ke arah ku dengan jempolnya.

"Pliss kak, ambil aja. Supaya aku nggak merasa hutang budi." Kataku lagi meyakinkannya.

"Apaan si? Nggak usah lebay gitu. Iya iya aku terima." Jawabnya dan akhirnya mengambil uang yang aku sodorkan. Aku tersenyum lega.

"Ayo sini gabung, belom makan kan?" Ajaknya padaku dan Imam. Sebagai seorang junior, kami tidak enak untuk menolak. Akhirnya kami setuju untuk mengikutinya menuju tempat duduk.

     Tapi tunggu! Ia mengarah ke meja pojok markas Rean. Ah tidak-tidak! Ini salah. Aku tidak boleh ikut kesana. Apa jadinya nanti kalau salah satu dari teman Rean melihatku duduk disana? Apalagi jika sampai Rean sendiri yang melihat? Namun apa yang harus kuperbuat sekarang? Aku tidak mungkin menolak ajakan senior yang sudah sangat baik padaku. Apalagi Imam pasti tak akan mendukungku untuk pergi dari kantin sekarang.

     Kami duduk di meja keramat itu. Sedikit horor rasanya. Aku sama sekali tak merasa nyaman duduk disini. Aku gelisah dan terus menoleh ke kiri dan kanan. Memastikan ketidakberadaan rombongan Rean.

"Qilla budek! Ditanyain." Imam memecah konsentrasiku.

"Apa?"kataku kesal karena ia mengejutkanku.

"Mau makan apa?" Jawab kakak tadi. Aku kembali menyadari bahwa ada dia disini.

"Oh, nggak usah kak. Aku nggak laper." Jawabku.

"Oh gitu. Yaudah kamu mau makan apa?" Jawabnya lalu bertanya kek Imam.

"Biar aku yang pesen kak. Nggak enak jadinya." Kata Imam selaku junior.

"Udah gapapa, buruan." Katanya mengibaskan tangan ke imam.

"Samain aja deh kak hehe" Jawab imam dengan cengiran andalan.

     Kakak yang bahkan belum kuketahui namanya itu pergi memesan makanan. Sedang aku, masih sibuk dengan aktifitasku yang sibuk menoleh kanan dan kiri.

"Apa-paan sih lo qil? Itu kak Dion. Lo gatau ama dia?" Imam memulai debat antara kami.

"Oh. Siapa?" Jawabku sekenanya.

"Mati aja lo. Dia ketos bego." Jawaban Imam berhasil mengalihkan perhatianku.

"Beneran? berarti selama ini aku salah orang tentang ketos." Jawabku mulai menyadari sesuatu.

"Emang lo kira yang mana? Makanya biasakan peduli lingkungan." Jawab Imam.

"Yang tinggi, rambutnya agak ikal, pake kacamata, itu tadi yang waktu kita mau ke sini dia lagi ngobrol sama pak yohan." Jawabku menjelaskan.

"Itu Kak Ray, yang ada tahi lalat dipipi segede gaban kan? Dia mah anggota biasa doang di osis. Gayanya aja yang selangit." Imam menjawabku sambil mengetuk-ngetukkan jarinya dimeja.

"Hahaha, ga sopan kamu. Abis dia kayaknya sibuk banget dari anak osis yang lain. Tiap ada acara sekolah, dia yang mondar-mandir." Kataku sedikit terhibur oleh jawaban Imam.

"Emang gitu orangnya. Eh ngomong-ngomong, lo sadar gak sih? Kak Dion ngomong ama lo pake aku-kamu." Katanya yang lagi-lagi mencuri perhatianku.

"Lah emang gitu ngomongnya kali, aku denger dia ngomong ama kamu tadi juga pake aku-kamu." Kataku tidak ingin blush dulu oleh kata-kata Imam.

"Gue sih gatau. Ga pernah deket juga ama dia. Tapi setau gue, dia itu tipe-tipe badboy yang paling sopan tau. Dia aja termasuk ke golongan anak demondcrew, walaupun sendirinya ketos." Imam menjelaskan padaku.

     Aku tersentak. Dia benar-benar kriteria lelaki yang aku idamkan selama ini. Lelaki yang punya nama, keren, sama sekali tidak culun, dan punya sikap yang baik.

"Tipe lo banget ya qil yak?" Imam menggodaku dengan cengiran andalannya.

"Apaan? Sok tau kamu." Kataku berusaha menghindar.

"Alah, udah deh. Lo sering bilang ke kita-kita." Imam memajukan mulutnya.

"Apa yang sering dibilang?" Tiba-tiba kak Dion sudah kembali ke meja kami.

"Ah nggak kak, ini si Imam hehe" kataku tak tahu harus menjawab apa.

"Udah kak? Biar aku pesan minumnya dulu ya kak? Mau apa?" Kata imam yang mulai berdiri.

"Samain aja haha" katanya dengan gaya cengiran khas Imam. Aku hanya tersenyum paksa melihatnya.

     Imam meninggalkan kami berdua. Tiba-tiba aku jadi canggung. Aku tak tahu harus membuka percakapan bagaimana. Kami hanya saling diam. Aku yang hanya menopang daguku dengan tangan kiri. Dan Kak Dion yang memainkan pulpennya yang sebelumnya ia ambil dari kantong.

     Namun tiba-tiba pulpen di tangan Kak Dion jatuh ke bawah meja. Kami sama-sama menunduk, lalu secara tak sengaja kepala kami terbentur. Aku sontak memegang kepalaku yang tak begitu sakit. Sedang kak dion hanya tertawa dan meminta maaf. Aku pun ikut tertawa karena ulahnya.

     Ia menunduk akan mengambil pulpennya yang jatuh  ke bawah meja. Namun kulihat dia sedikit kesusahan. Karena pulpennya lebih dekat denganku, akhirnya aku berusaha untuk mengambilnya juga. Dan aku mendapatkannya dengan mudah. Lalu kuberikan padanya.

"Makasi ya qil. Ini tunggal soalnya hahaha" katanya tertawa.

"Hahaha iya kak sama-sama." Kataku yang ikut tertawa.

     Namun tiba-tiba jantungku berhenti ketika kulihat Rean dan rombongannya di depan kantin. Mereka sudah menatap kami. Kurasa yang lain menatap kami karena menduduki area teritorial mereka. Sedangkan Rean, ia menatapku dengan sendu. Berbeda dari pandangan teman-temannya. Kulihat ia sedikit bergetar dan tangannya mengepal. Kemudian dia berbalik, berkata sesuatu pada temannya lalu menangkup kepalanya dengan hoodie jaketnya. Sejurus kemudian, ia berjalan memunggungiku.

     Rean aku sedih. Aku punya rasa penyesalan yang tak berujung ketika kuceritakan semua ini. Kau berkorban untukku, tapi aku mengorbankanmu.
     Rean kumohon, bilang ke awan gelap penuh penyesalan itu, aku sudah menyesal. Jadi suruh dia memaafkanku Rean. Agar hilang rasa sesalku.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Votenyaa ya sayy💞💞

Dia, ReanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang