9 - Night

691 115 21
                                    

Mungkin Alisha selalu terlihat ceria. Mungkin. Siapa tahu? Namun dibalik itu semua, seiring berjalannya waktu, ia semakin teringat dengan Ayahnya.

Tak dapat dipungkiri bahwa meskipun hubungan pertemanannya sedang dalam masa percobaan, hal yang mampu membuatnya tak dapat tidur nyenyak sama sekali bermalam-malam hanyalah Ayahnya.

Dia merindukan Ayahnya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Dia ingin bertemu dengan Ayahnya, atau setidaknya mendapatkan surat darinya. Namun surat yang ia pernah terima hanya dari Mr — atau Uncle — Potter.

Rasanya ia ingin cepat-cepat berlibur, atau apa pun lah, agar ia bisa bertemu dengan Ayahnya lagi.

And those feelings are so overwhelming.

Alisha tak dapat membendungnya seorang diri lagi, tetapi dia tak mau merepotkan teman-temannya. Dan sudah beberapa hari di bulan Desember ini ia menangis di dalam keheningan.

Ia merasa seperti orang paling tak berguna sepanjang masa karena tak dapat berbuat apa-apa untuk Ayahnya.

[+]

Albus benci Ramuan. Meskipun ia telah mencoba untuk melakukan semuanya secara teliti dan perlahan sekaligus mengikuti prosedur yang ada, Albus masih tak bisa mendapatkan hasil yang sempurna.

Yah, meskipun tak pernah membakar kuali, tetap saja tak pernah sesuai dengan ekspektasi. Selalu di bawah standar.

Hal itulah yang membuat emosinya naik hingga ke ubun-ubun dan akhirnya ia pun meledak.

"Fuck," umpatnya ketika warna ramuannya tak sesuai dengan yang seharusnya. Albus mengacak-acak rambutnya frustasi sambil meletakkan bukunya ke atas meja dengan kasar.

Tanpa ia sadari, seisi kelas memperhatikannya. Keadaan kelas yang tadinya agak gaduh pun sudah berubah menjadi hening. Mungkin Albus terlalu frustasi sehingga tak menyadari atmosfer yang berubah drastis ini.

"Mr Potter," panggil sang guru, Profesor Slughorn. Albus segera menoleh ke arah gurunya tersebut dengan tatapan bertanya.

"Ya, Profesor?"

"Apa yang baru saja Anda katakan?" tanya Profesor Slughorn.

Albus mengerutkan keningnya. "Saya bilang, Ya, Profesor?" balasnya, agak bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan.

"Sebelum itu," ucap Profesor Slughorn, sebelum Albus berpikir kalau guru yang satu itu sudah berubah menjadi sedikit lebih lemot.

Albus mengulang kembali kejadian saat ia sedang membuat ramuan di kepalanya, hingga ia menemukan satu titik di mana ia merasa bahwa Dewi Fortuna tidak memihak padanya.

"Oh," ujar Albus ketika memori itu menghantamnya.

"Ya, Mr Potter," katanya, "oh."

"Maaf, Prof, saya —"

"Detensi, pukul delapan nanti, di ruangan saya."

Selamat, Albus. Kau harus menjaga ucapanmu lain kali, batinnya pasrah.

[+]

FirstTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang