Back sound: kiss the rain and rivers flows in you
Aku tengah digandeng oleh ibuku untuk memasuki kediaman Rian. Disana tampak banyak orang mempersiapkan segala sesuatu. Dengan lemas kulangkahkan kakiku memasuki ruang tamunya. Semua pandangan seketika tertuju padaku. Aku sama sekali tak menghiraukan mereka. Pandanganku kosong dan aku tak banyak bicara sejak, kulihat pacarku terbaring tak bernyawa di RS kemarin.
Aku hanya mendengar mereka seperti mengasihiku. Apa? Apa yang salah denganku? Apa karena mata sembabku ini? Karena memang aku tak henti menangis semalaman kemarin. Bahkan aku tak sanggup untuk tidur. Atau karena wajah pucatku? Yang tak sengaja kubuat karena aku tak bisa melupakan kejadian kemarin.
Kemudian ibu mendudukanku di sebelah ibu Rian yang masih menangis. Entah kenapa ibuku menggelengkan kepalanya pada ibu Rian. Dan seketika aku dirangkulnya dan aku dibisikan sesuatu.
"Kamu nggak salah Sophie. Jangan seperti ini, kami semua ada di sisimu." Ibu Rian membisikan itu sambil sesenggukan. Aku sama sekali tak merespon apa yang dikatakan ibu Rian. Pandanganku hanya tertuju pada foto Rian yang terpajang tepat di atas tembok di depanku.
"Rian." Kataku pelan. Karena suasana di sini sedang hening. Maka semua orang di ruangan itu mendengarku menyebut nama Rian. Aku sedikit mendengar mereka menangis, karena aku memanggil pacarku. Tiba-tiba air mataku menetes lagi. Mengalir melewati pipiku.
Suasana haru terdengar kemudian. Para sahabatku yang duduk di samping ibu Rian bahkan menangis. Kenapa? Apa aku salah memanggil pacarku sendiri?
Tak berapa lama, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Semua orang berdiri untuk melihat. Lalu turunlah kak Juan dan kak Vian yang menarik sesuatu. Sebuah keranda. Setelah keranda itu keluar gantilah Jun dan Kevin yang mendorong keranda sambil keluar dari mobil. Jaya bahkan ikut dengan mereka. Turun dari mobil bagian depan sambil membenahkan pecinya. Dan mereka menuju ke dalam rumah.
Suasana seketika langsung histeris karena kedatangan keranda itu. Aku yang masih memandangi foto Rian, tak bisa melahat apapun kecuali foto yang ada di depanku ini.
Saat ke lima laki-laki tadi memasukkan keranda dan membukanya, tangisan muncul dimana-mana. Karena penasaran ku alihkan pandanganku dari foto itu menuju keranda yang telah terbuka.
Di sana, terbaring kaku. Tertutup kain kafan putih. Kemudian kak Vian membuka perlahan kafan itu dari kepala hingga memperlihatkan wajah seseorang itu. Dia adalah, Rian. Pacarku yang sangat kusayangi.
Semua seketika hening melihat Rian yang biasanya sangat ceria,hipper active, bahkan bisa dibilang selalu bahagia, tapi sekarang telah terbujur kaku diatas keranda dengan wajah pucat dan hidung tertutupi kapas.
Aku, sama sekali tidak percaya. Di depanku kini, ada pacarku yang telah menduluiku untuk menghadap sang kuasa. "Ri-an?" Aku sedikit ragu.
Kemudian tanpa kusadari, air mataku mengalir deras membasahi pipiku. Aku langsung menghampiri Rian, memeluknya, menggoyangkan badannya. Aku masih tidak percaya Rian meninggalkanku.
"Riaaaaan...... bangun... lo jangan becanda.... ini gak lucu. Bangun yan....." panggilku sambil memukul badan Rian yang telah dingin. Semua yang menyaksikanku seperti ini langsung menangis tersedu-sedu.
"Ayo yan.. lo harus bangun.... lo bentar lagi masuk kuliah... lo janjikan bakal ngalahin michel jordan. Lo juga janji mau ngajak gue jalan ke New York. Kenapa lo sekarang pergi duluan?😭 lo masih maukan liat gue lulus? Nanti kita foto bareng. Gue janji gue bakal foto bareng sama elo. Tapi sekarang lo harus bangun dulu Yan...😭." Teriakku. Kemudian kusandarkan kepalaku ke dada Rian.
"Bangun yan... bangun." Suaraku melemah. "Yan. Apa lo gak malu apa? Ini di depan banyak orang. Jangan becanda kayak gini. Ayo bangun. Tuh liat ada kak Juan sama kak Vian. Lo nanti diejek lho. Tuh di sana ada mamah kita duduk bareng, apa lo gak malu liat mereka? Tuh di sampingnya ada sahabat gue. Nanti gue juga diejekin yan... ayo bangun. Mana Jun sama Kevin? Ah itu liat mereka juga ngeliat lo lho... ayok bangun yan. Cukup bercandanya." Aku sedikit menahan tangisku. Tapi aku kembali menangis saat Rian tidak menjawabku sama sekali. Apa memang aku sudah gila?
"😢😭Yaaaaaan.... banguuun. Gue mohon.. jangan tinggalin gue... gue mohon yan..." aku kembali menyandarkan kepalaku ke dada Rian.
"Lo bener. Lo bener atas firasat elo. Kalo aja gue dengerin firasat lo itu. Ini semua gak bakal kejadian. Ini semua salah gue." Aku memukul diriku sendiri. Kemudian aku di hentikan dengan dipeluk kak Juan. Ia membisikkan.
"Bukan. Ini bukan salah lo Soph. Ini bukti kalo tuhan lebih sayang Rian. Maanya Rian diajak ke surga duluan. Udah jangan nangis. Tenangin diri lo dulu." Kak Juan mengelus rambutku yang berantakan.
"Kalo gitu gue juga mau ikut sama Rian😢. Bang gue mau ikut. Anterin gue ke sana juga...😭" aku menarik-narik kaos putih kak Juan. Tapi tidak ada jawaban. Kemudian pandangan ku mulai kabur lagi. Dan seketika semua gelap.
Saat kubuka mataku, aku tengah berada di kamar tamu milik ibunya Rian. Aku di sana bersama para sahabatku. Kutanyai satu per satu dari mereka atas keadaanku. Tapi tak ada yang menjawab. Hingga Nia angkat bicara.
"Lo tadi pingsan. Lo istirahat dulu aja." Setelah perkataan Nia itu aku langsung terfikir satuhal.
"Dimana pacar gue?" Aku menatap serius mereka berempat.
"Dia sedang menuju pemakaman." Vivi mengatak itu kemudian dia langsung menutup mulutnya dengan tangannya.
Aku langsung bergegas menuruni tempat tidur dan langsung keluar rumah sambil berlari.
"Gue harus nemuin Rian. Di sekitar sini, pemakaman yang deket cuma 1. Ya, deket sungai yang gue datengin ama Rian dulu." Aku masih berlari meski kakiku sesekali menginjak batu. Aku bahkan tak menggunakan alas kaki.
Tak berapa lama aku tiba di pemakaman itu. Aku langsung menghampiri kerumbunan orang di sana.
Ku terobos kerumbunan itu, dan mendapati nisan bertuliskan Rian Zafar Wijaya bin Donny Wijaya. 1997-2016. Aku sampai saat semua tngah selesai berdoa. Dan Rian telah berada di dalam kubur.
Aku menangis histeris sambil menjatuhkan diri ke tanah. Aku sekarang aku berposisi terduduk di atas tanah. Sambil sesekali menyebut nama Rian. Semua yang ada di sana makin terisak. Kemudian satu persatu dari mereka mulai meninggalkan Rian sendiri. Sekarang tinggalah aku, kak Juan dan kak Vian.
"Soph, ayo pulang." Ajak kak Juan. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Aku sudah lelah untuk mengucap selatah katapun.
"Sophie, Rian akan baik-baik saja. Percaya sama kakak. Kalo Rian tau lo kayak gini. Dia bakal sedih." Sekarang kak Vian yang menenangkanku.
"Ngga-k kak. Sophie mau di sini aja. Nemenin Rian." Suraku sudah serak. Badanku lemas. Dan aku hanya memeluk nisan Rian.
"Ayolah Soph. Nanti kalo Rian liat lo dari alam sana, dia gak bakal tenang. Lo gak kasian sama Rian? Kita semua sedih Soph. Bukan lo doang. Jadi, lo jangan kecil ati. Masih ada kita semua." Tambah kak Juan. Kemudian dengan berat hati. Ku tinggalkan Rian sendiri di sana. Dan berjalan pulang.
Acara doa bersama berlangsung di kediaman Rian hingga malam hari. Tak kusangka, begitu banyak orang yang sangat perhatian pada Rian. Para guru sekolah dan fans Rian dari berbagai sekolah juga ikut berduka. Mereka berdatangan ke kediaman Rian.
Tak sedikit dari mereka yang melihatku dengan tatapan sedih, marah, dan kasihan. Aku masih tetap termenung dalam lamunanku. Bahkan guruku yang mengajakku bicara, tak kuasa menahan tangis karena melihatku seperti ini.
Setelah acara doa itu, aku segera dibawa pulang oleh kak Juan. Kemarinlah hari terakhirku tertawa lepas bersama Rian. Untuk pertamakalinya, aku membenci hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISE heart,memories,and you✔ [COMPLETE]
RomanceYakinlah setiap sifat seseorang itu akan berubah seiring berjalannya waktu. Namun selang waktu berjalan, hargailah segala sesuatu yang terjadi saat itu. Entah suka, atau duka. Karna DIA menciptakan segala sesuatu yang telah IA rencanakan dengan san...