Sembilan

12 6 0
                                    

Seun Joo mengantar Mia menuju hotel. Mia segera turun dari mobil. Setelah memastikan mobil Seun Joo telah pergi, Mia baru naik ke kamar. Terlihat Dea sudah siap dengan barang-barangnya. Mia segera menuju kamar mandi, setelah itu bersama dengan rombongan nya pergi ke bandara.

'Selamat tinggal Korea, selamat tinggal Seun Joo. Aku akan sangat merindukanmu' batin Mia sambil melihat ke arah udara diluar jendela pesawat.

*
*

Begitu tiba di bandara Indo, Mia dan rombongannya berpencar mencari jemputan mereka masing-masing. Seorang pria suruhan bibinya menggunakan setelan jas lengkap sudah menunggu Mia. Mia masuk kedalam mobil itu menuju ke kediaman bibinya

Mobil yang membawa Mia memasuki pelataran sebuah rumah dengan air mancur ditengahnya. Rumah bibi Mia bisa dibilang cukup besar, terlalu besar jika hanya untuk 2 orang. Mia masuk ke dalam rumah disambut beberapa pelayan. Mereka mengatakan jika bibinya sedang tidak ada di rumah saat ini. Mia sudah terbiasa dengan hal itu. Hampir setiap hari Mia sendirian dirumah karna pekerjaan bibinya yang merupakan seseorang yang dipercaya oleh pemimpin negara ini. Tidak banyak yang tau jika Mia adalah keponakan dari seorang menteri, karna Mia sendiri tidak ingin kehidupannya terganggu karna fakta itu.

Mia menaiki tangga menuju kamarnya dilantai dua. Dilemparnya tas tangannya ke atas kasur dan menyuruh pelayan meletakkan kopernya disudut ruangan. Kemudian ia masuk ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Mia tidak begitu mengantuk tapi karna perjalanannya yang cukup melelahkan membuatnya tertidur pulas.

*
*

Pukul 1 siang, Mia baru bangun dari tidurnya. Ia segera keluar kamar untuk mencari makanan karna perutnya yang terus berbunyi sedari tadi. Mia menemukan bibinya yang sedang duduk santai di ruang makan sambil menyeduh secangkir teh.

"Apa istirahatmu nyenyak sayang?" tanya wanita pertengahan 40 an itu sambil tersenyum hangat kearah Mia. Mia balas tersenyum kemudian duduk didepan bibinya.

"Sangat nyenyak"

"Kau pasti lapar, bibi baru saja menyuruh pelayan mengantar makananmu ke kamar, tapi berhubung kau sudah ada disini jadi makanlah" kata bibinya mulai mengambilkan nasi serta lauknya ke atas piring Mia.

"Terima kasih bibi" Mia mulai mengunyah makanannya, sedangkan sang bibi terus mengawasi gerak-gerik Mia.

"Sebenarnya bibi agak keberatan jika harus membiarkanmu tinggal di luar negri sendirian" kata bibi masih menatap kearah Mia. Mia menghentikan kegiatannya. Mengalihkan pandangan ke arah bibinya. Terlihat jelas raut wajah bibinya yang begitu khawatir. Memang selama ini Mia sudah dianggapnya seperti putrinya sendiri karna bibinya yang hingga kini belum punya anak sedangkan suaminya harus meninggalkannya untuk selama-lamanya 3 tahun lalu. Dan tidak ada niatan sama sekali dari bibinya untuk menikah lagi. Katanya, pekerjaannya saja sudah sangat menyita waktu apalagi harus mengurus suami dan bayinya nanti. Lagi pula siapa yang mau mengambil resiko menikahi seorang menteri?

Bibinya menghela napas berat, menyentuh tangan Mia diatas meja. Di elusnya dengan lembut tangan gadis kesayangannya itu.
"Bibi sangat serius saat mengatakan akan mengadopsimu satu tahun yang lalu setelah kematian kedua orang tuamu, ibu mu adalah adik kesayanganku. Dan menjagamu sudah menjadi tanggung jawabku Mia. Tapi saat itu kau menolak, kau bilang tidak ada yang bisa menggantikan posisi ibumu" Mia membenamkan wajahnya, berusaha menahan air mata yang mulai keluar.

"Tapi bibi juga tidak ingin mengekangmu. Selama ini kau selalu menjadi gadis baik, tidak pernah meminta maupun menuntut. Dan baru kali ini kau meminta sesuatu. Bibi sangat senang jika ini adalah impianmu dan terlebih lagi jika ini akan sejenak membuatmu melupakan kejadian setahun yang lalu" Mia sudah tidak sanggup membendung air matanya. Kecelakaan yang terjadi satu tahun yang lalu kembali terbayang olehnya. Kejadian itu begitu memukul relung hatinya yang paling dalam. Membuat hidupnya hampa. Tawanya selama ini hanya buatan, kini Mia menangis dan bibinya memeluk erat tubuh ringkihnya. Dan inilah Mia yang sebenarnya. Terlalu banyak memendam perasaan membuatnya berada di titik puncak dimana ia sudah tidak sanggup lagi menyimpan perasaan hancur yang menyesakkan.

With you [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang