Sarapan pagi ini di rumah keluarga Djuhandar hanya ditemani oleh keheningan. Nabilah sedari tadi hanya mengaduk-aduk makanannya. Tatapannya kosong, pikirannya melayang pada nasib hubungannya dengan Gaby. Helaan napas lelah lolos begitu saja dari bibir Nabilah. Ia menggeleng samar saat bayangan buruk melintas di benaknya. Nabilah sama sekali tak siap dengan kemungkinan buruk yang akan terjadi dengan hubungannya dan Gaby.
"Nabilah."
Suara berat nan tegas milik Dyo membuyarkan semua lamunan Nabilah. Ia mendongak sejenak pada Papi nya, lalu kembali menunduk. Nabilah masih merasa sangat kesal jika menatap Dyo.
"Hari ini, kamu berangkat dan pulang bersama Nadse," ucap Dyo yang lebih pantas di sebut sebuah perintah. "Bukan hanya hari ini, tapi juga seterusnya," lanjut Dyo.
Nabilah menggeleng cepat, "Bibil, gak mau."
"Mau gak mau, kamu harus tetep mau. Lagipula kunci mobil kamu ada di Papi sekarang, dan kalau kamu tidak mengikuti perintah Papi. Dengan sangat terpaksa, semua fasilitas kamu akan Papi tarik. Bukan cuma itu,"
"Pi," panggilan dari Melody membuat ucapan Dyo terpotong.
"Diem dulu Mi, Papi belum selesai bicara," ucapnya dengan tegas, Melody pun hanya bisa diam. Ia menatap iba pada Nabilah, putri semata wayangnya. Dyo kembali menatap Nabilah. Ia berdehem pelan, "bukan hanya menarik fasilitas yang kamu punya, tapi Papi juga akan mempercepat tanggal pernikahan kamu dengan Nadse."
Nabilah menggeram dalam hati, ia mengatupkan matanya sejenak. Ia mencengkram kuat sendok yang berada di genggamannya. Ingin rasanya ia memaki pria paruh bayah di hadapannya tersebut. Tapi, Nabilah masih ingat, biar bagaimanapun juga. Dyo tetaplah Ayah kandungnya.
Tin ... tin ...
Suara klakson mobil membuat Dyo tersenyum sumringah.
"Sepertinya itu mobil Nadse, cepat selesaikan sarapan mu," ujar Dyo.
Nabilah hanya berdehem, ia segera beranjak lalu berjalan keluar rumah tanpa berpamitan.
Nabilah mengusap kasar wajahnya saat melihat mobil milik Nadse. Ia harus lebih bersabar.
***
Bel istirahat telah berbunyi, Nabilah beranjak dari bangku nya hendak berjalan mendekati Gaby. Tapi baru beberapa langkah ia berjalan, sebuah tangan menahan lengannya. Nabilah menoleh, ia mendengus melihat Nadse yang menahan lengannya.
"Mau kemana? Hm?" tanya Nadse, ia memeluk lengan Nabilah lalu bergelayut dengan manja.
Nabilah berdecak, "Bukan urusan lu," jawabnya acuh.
"Sekarang udah jari urusan aku, Bil. Kamu calon pendamping aku sekarang." Nadse tersenyum miring, ia mendekatkan wajahnya disamping telinga Nabilah. "Kalo kamu berani deketin Gaby, aku pastiin, tanggal pernikahan kita bakal dipercepat," bisik Nadse.
Di dalam hati, Nabilah tengah sibuk memaki Nadse. Ini benar-benar menguji kesabarannya.
Nabilah hanya bisa mendengus, dengan kasar ia menghempaskan tangan Nadse lalu berjalan meninggalkan kelas. Saat ini, ia hanya butuh ketenangan.
***
Nabilah berjalan mengendap-endap, matanya terus bergerak ke segala arah. Memastikan ia dalam keadaan aman. Sesekali Nabilah berjalan diantara para murid. Setelah sampai di luar sekolah, Nabilah segera berlari secepat mungkin sebelum orang yang ia hindari menemukannya. Siapa lagi kalau bukan Nadse. Ia tak perduli dengan ancaman dari Papi nya. Saat ini yang ia pikirkan hanyalah Gaby. Selama di sekolah tadi, Nabilah sama sekali tidak bisa bergerak bebas karena Nadse yang terus mengekang nya. Dan juga membawa-bawa nama Papi nya sebagai ancaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Dini [Completed]
FanfictionTatap masa depan, berpegangan dan mulailah dengan waktu