Suara adzan maghrib terdengar merdu. Gadis berjilbab lebar itu sudah sampai di halaman rumahnya. Dia langsung melesat masuk ke dalam rumah. Ibunya yang baru selesai wudhu hanya menggeleng pelan.
Dua perempuan beda generasi itupun shalat berjama'ah di mushola kecil di dalam rumah mereka. Sesudah shalat ibunya si gadis muda pergi meninggalkannya lebih dulu.
Gadis itu yang bernama Aisyah Nur Afifah. Anak bungsu dari tiga bersaudara yang ke semuanya perempuan. Dia terpaut jauh dengan kakak - kakaknya. Dengan kakaknya yang keduapun dia terpaut usia 10 tahun.
Dia belum bekerja. Baru kemarin dia menyelesaikan kuliahnya. Ayahnya hanya pegawai di salah satu perusahaan besar dan ibunya membuka warung klontongan di rumah. Kalau ada syukuran atau acara nikahan ibunya Aisyah suka di percayai untuk membuat rupa - rupa kueh basah.
Aisyah terlihat sedang membaca Al - qur'an dengan kantuk terlihat jelas di wajahnya.
"Assalamualaikum" Salam suara seorang lelaki paruh baya.
"Wa'alaikumussalam yah." Aisyah nyengir lebar.
Ayah langsung duduk di depan anaknya.
"Ayo mulai baca hapalanmu" Ujarnya.
Aisyah dengan berkeringat dingin membaca basmallah lalu mulai mengaji. Ayahnya mendengarkan dengan seksama.
"Hapalanmu gak bertambah?" Tanya Ayah setelah Aisyah selesai mengaji.
"Maafin Aisyah yah." Hanya itu jawaban gadis itu.
Ayah hanya mengangguk maklum dan mengusap kepala anak bungsunya itu.
"Jangan menyerah yah."
Setelah mengucapkan itu Ayah berlalu meninggalkan anaknya. Sepeninggal Ayah Aisyah tidur tengkurep di mushola.
"Ya Allah aku mau nikah aja. Huaaaaa." Ujarnya lirih.
"Aku gak sanggup menghapal. Gak seperti kakak. Boleh mintakan ya Allah. Aku mau suami yang modern aja. Jangan Ustadz. Aisyah gak kuat kalau modelnya kayak Ayah." Do'anya lagi.
Aisyah langsung tidur terlentang. Dia menatap langit - langit mushola. Dia mencebikan bibirnya. Ayahnya itu emang lelaki biasa tapi tekadnya menegakan syariat islam di keluarganya disiplin sekali.
Aisyah termasuk anak yang pembantah. Dia gak seperti kakak - kakaknya. Dia terlahir paling akhir dan di beri keringanan untuk tidak mondok. Dia sekolah di sekolah umum dan kuliahpun demikian.
Semua warna - warni kehidupan mewarnai kepribadiannya. Dia tidak lemah lembut seperti kakaknya. Dia pecicilan dengan sifat manjanya yang melekat erat.
Aisyah keluar menemui umi yang sedang jaga warung. Ayahnya sedang murojah di ruang tamu.
"Sudah menghapalnya Ai?" Tanya Ayah.
"Nanti di lanjutin lagi yah. Ai laper." Kilahnya.
Aisyah kedepan menemui umi. Mengambil dua roti dan memakannya.
"Um. Hapalan ini membuat Ai gampang lapar." Adunya manja.
"Masa kalah sama ayahmu. Yang sudah tua tapi hapalannya tetap bagus."
"Ayahkan beda."
"Bedanya apa? Bedanya kamu tidak memiliki kemauan sebesar ayah kamu. Ini ribetlah. Inilah tapi ini itu baik buat kamu." Beber umi.
Aisyah manyun.
"Makanya jangan keseringan liat yang ganteng dan ngebaperin banyak hal. Jadi gak nyangkut - nyangkut itu hapalan." Ujar Uminya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siluet Hati
SpiritüelKeterkaitan story #5 Reynand Bagaskara Hardinata. Seorang lelaki yang menurut orang begitu sempurna. Tapi menyimpan duka kehilangan yang teramat dalam sampai dia di pertemukan dengan perempuan yang bertolak belakang dengan dirinya juga hidupnya. Apa...