Sebuah kebetulan, Lagi?

20.1K 2K 94
                                    

Langkah pelan Reynand semakin masuk lebih dalam ke lingkungan pesantren. Dia melihat berbagai hal yang membuat hatinya tentram. Disini semua remaja bersatu padu untuk menggapai keridhoan Ilahi, sedangkan dirinya kemarin cuek saja dengan segala kewajiban yang dia lakukan tanpa mengikut sertakan hati.

Padahal segala ibadah jika mengikut sertakan hati. Akan lebih indah dan terasa sekali nikmatnya iman. Hati diciptakan bukankah untuk mencintai Allah dan rasulnya yang paling utama? Tapi kebanyakan manusia lebih mencurahkan seluruh hati kepada yang bukan haknya. Terlalu berlebihan yang akhirnya mereka terluka sendirian.

Reynand menghirup nafas dalam - dalam. Dia masuk kedalam mesjid besar yang ada ditengah - tengah pesantren ini. Dia melirik jam di pergelangan tangannya yang sebentar lagi akan dzuhur.

Disaat Rey. Menaiki undakan tangga. Suara salam dari belakang menghentikan langkahnya. Rey berbalik dan mendapati Ihsan disana. Ustadz muda itu menghampiri Rey lalu menepuk bahunya.

"Bagaimana kabarmu sadaraku?" Tanya Ihsan.

"Baik mas. Alhamdulilah..hehe" Jawab Reynand dikhiri dengan kekehan. Biasanya dia tidak mengakhiri dengan kalimat tahmid itu.

Ihsan terlihat tersenyum. Mereka tetap berdiri diundakan tangga.

"Sebentar lagi dzuhur. Mari kedalam mesjid. Kau yang adzan yah?" Ujar Ihsan.

Reynand tergagap. Dia belum pernah melantunkan adzan tapi dia tahu dan hapal.

"Mas. Saya, tidak bisa."

"Bisa Insha allah. Saya percaya kamu bisa."

Ihsan langsung menepuk bahu Rey keras dan mengajaknya masuk ke dalam mesjid. Setelah masuk Rey terlihat resah. Ihsan hanya tersenyum saja.

Ini sudah waktunya adzan. Ihsan memberi isyarat lalu berkata pelan.

"Sertakan hati. Ini ajakan kepada kaum muslimin untuk mengerjakan shalat. Adzanlah dengan tulus." Ujar Ihsan.

Entah kepercayaan yang datang darimana, dengan langkah yakin Reynand melangkah kedepan. Berdiri didepan mikrofon, menutup sebelah telinganya lalu menutup matanya.

Diapun mengumandangkan adzan. Arkan yang tergesa masuk kedalam mesjidpun mendadak terhenti sejenak. Dia hanya tersenyum simpul dan buru - buru masuk karena tidak mau ketinggalan shalat berjamaah barang sedetikpun.

Reynand merasakan kehangatan luar biasa menjalar dihatinya. Hati yang selama ini beku karena kepergian Kinara mulai mencair.

Sesudah selesai melaksanakan shalat dzuhur. Reynand keluar paling akhir dari mesjid. Diluar sudah ada Ihsan dan Arkan yang menunggunya.

Ustadz muda itu tersenyum.

"Pertanyaan itu? Sudah kau bisa jawab sendirikan." Tanya Ihsan.

"Sedikit, tapi tetap saya ingin berbagi cerita dengan mas ihsan."

"Dengan saya. Ditarif perjamnya yah. Gak keberatan..hehe" Kekeh Ihsan.

"Enggak mas. Kayak pengacara aja mas di tarif." Ujar Rey.

Ihsan yang tersenyum sumringah langsung menseriuskan wajahnya. Arkan yang melihat ekpresi wajah kakak iparnya hanya tersenyum saja.

"Saya tidak suka dipersamakan apalagi dengan pengacara."

"Kenapa mas?" Tanya Reynand yang memang tidak tahu.

Arkan yang tidak bisa menahan tawanya akhirnya suara tawanya terdengar. Lelaki kaku bak robot itu tertawa pelan.

"Ada yang salah adik ipar.?" Tanya Ihsan.

"Enggak. Kak."

"Sudah. Kita makan siang bersama. Ayo kita ke rumah."

Siluet HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang