Hari belum terang betul tapi Swari sudah tidak bisa melanjutkan tidur ayamnya. Sepanjang malam ia terlelap tetapi jiwa dan pikirannya tidak benar-benar bisa terlelap. Tanpa Swari beri ijin pikiran-pikiran tentang Naresh yang memicu perkelahian dengan Eda memenuhi rongga saraf otaknya. Swari juga menyesal telah bersikap kasar kepada Eda, bagaimanapun Naresh lah yang memulai perkelahian tersebut, tapi Swari refleks menampar Eda juga karena emosi bercampur rasa lelah.
Swari menyerah, walau ia masih merasa kantuk masih menyergapnya, ia memilih untuk bangkit dan pergi ke dapur untuk membuat susu coklat hangat. Saat itu lah rasa penasaran akan perkataan Naresh melalui pesan singkatnya semalam membuat Swari melangkahkan kakinya ke depan pintu apartemennya. Dengan perlahan ia memencet layar interkom untuk melihat apakah Naresh masih disana atau sudah pulang. Swari berharap Naresh tidak akan menunggu. Jujur, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa kalau Naresh sampai masih berada di sana.
Setelah mendapati sosok itu tidur dengan posisi terduduk sembari menyender ke tembok di sebrang pintu apartemen Swari, sontak Swari langsung membuka pintu apartemennya. Swari ingat saat dirinya berbaring di kasur kamarnya ketika waktu telah memasuki angka 1 pagi, dan kini Swari yang merasa waktu subuh telah masuk langsung merasa bersalah melihat Naresh menunggunya sambil tertidur di luar selama hampir 4 jam lebih. Namun, Swari menggelengkan kepalnya cepat, ia menepis rasa bersalahnya, bagaimana pun Naresh lah yang telah berkelakuan seperti kaum barbar semalam. Swari baru saja akan kembali ke dalam apartemen, tapi hati nuraninya membuat langkahnya terhenti. Ia berdecak pelan, sebelum kembali menghadap Naresh dan menendang-nendang kaki Naresh yang terjulur.
"Nar, oy Nar! Banguuun."
Tubuh itu masih saja tertidur bak patung. Swari tidak menyerah ia menendang-nendang lagi kaki panjang Naresh lebih kencang, kali ini tanpa menyadari bahwa tendangan tersebut mengenai tulang kering Naresh. "Naaar banguuuun..."
Tubuh Naresh terlonjak, ia meringis sesaat sambil mememegang tulang keringnya yang terasa sakit. Menyadari Swari lah yang memberikan rasa sakit di kakinya Naresh pun hanya menyengir lebar. "Pagi Ri udah bangun?" tanyanya tanpa dosa.
Melihat tingkah sok polos Naresh, Swari langsung malas dan membalikkan tubuhnya kembali ke dalam apartemen. Belum ada sejengkal, tapi Naresh sudah menahan tangan Swari.
"Riii" Panggilnya dengan nada memelas.
Swari memasang wajah juteknya. "Pulang sana." Ia berusaha melepas genggaman Naresh yang sayangnya membuat Naresh semakin mempererat genggaman tersebut.
"Ri plis kita butuh ngomong."
"Ngomong apa? Soal kelakuan barbar lo? Males."
"Bukan itu...oke itu juga tapi ada hal lain yang mau gue omongin Ri, gue mohon."
Swari menatap Naresh dalam untuk beberapa detik. Wajah itu memang tidak bisa di sebut wajah manusia. terlalu sempurna. Bayangkan saja wajah kusut kurang tidur serta luka-luka di wajah yang mulai membiru itu sudah mulai menampakkan sisi lebamnya. Namun, sisi ketampanan Naresh tetap saja tidak memudar barang sepersen pun. Tapi balik lagi bukan wajah tampan itu yang membuat Swari menyetujui permintaan Naresh, namun Swari sadar kelakuan Naresh semalam memang harus mereka bahas. Ia tidak mau kejadian semalam sampai terlulang lagi.
"Masuk."
Naresh pun tersenyum lebar, ia melangkah cepat ke arah pintu masuk ketika suara Swari muncul lagi. "Tangan gue..."
Naresh berhenti sejenak sadar ia masih menggengam tangan itu, ia pun melepas tangan Swari, walau tidak ingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Circle (The 1994 Series)
ChickLit[COMPLETED, 18 Juni 2017] Dia tahu dia harus pergi. Dia tahu ini tidak benar. Dan dia tahu ketidakpastian itu memerangkap, Seperti hidup di dalam lingkaran tak kasat mata yang tahu dimana letak pintu keluar itu berada, namun tidak tahu apakah harus...