Pagi pertamanya di Bandung, di depan halaman rumah dimana dia dapat melihat pemandangan terbentang luas. Berbeda dengan Jakarta yang sama sekali tidak bisa bersahabat dengannya. Namun, semuanya harus tetap dipaksakan. Sampai nanti dia keluar dari SMA, dia memutuskan untuk tinggal bersama neneknya. Itu tidak salah karena Kakaknya akan segera menyelesaikan studinya di Belanda. Kedua orangtuanya, mungkin bisa kembali ke rumah setelah sekian lama tak pulang dan tak ingat anaknya ini.
Sebentar lagi Paman Jo akan mencari pasangan hidupnya. Jadi, biarkan Pevita di sini. Neneknya butuh teman dan mungkin Pevita akan belajar lebih dewasa setelah mendengar cerita masa muda neneknya.
Siapa yang ingin hidup di bumi? Pevita sendiri tahu kalau dia tidak pernah menginginkan hal seperti itu. Dia tidak mengerti mengapa dia menjadi pemenang dalam rahim ibunya, masuk dan tumbuh di sana, mengapa tidak orang lain saja. Namun, hal tersebut tak patut ditanyakan. Nenek pernah bilang, kalau kamu sudah bernafas di Dunia, bersyukurlah, dan kamu hanya harus menjalaninya.
Tidak ingin berlama-lama di depan, Pevita ingin kabar neneknya. Masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, Pevita memanggil neneknya.
"Pagi, Nek," ucapnya kemudian mencium pipi kanan neneknya.
Neneknya tersenyum, ketika Pevita melingkarkan tangannya di leher dari belakang. Mencium pipi Pevita dengan lembut, suara tawanya terdengar kecil.
"Hari ini sarapannya apa, ya?" tanya Pevita, mimiknya berpikir, "Nenek mau makan apa?"
"Kamu bisa masak?" tanya Neneknya tak percaya.
"Oke, aku mau tunjukin. Aku masak nasi goreng. Pasti enak, kemarin Mbok Sari sampai muji-muji aku karena nasi goreng yang aku buat enaaaaak bangeeet ...." Pevita berlutut di depan Neneknya.
"Baiklah, buatkan nenek itu."
Pevita tersenyum, "Tunggu disini! Oh, ya, aku bikinin teh dulu."
Neneknya hanya mengangguk, dia kagum melihat cucu perempuannya sudah sebesar itu. Tidak bisa dipungkiri lagi, semakin tumbuh dia semakin pengertian. Gadis yang dulunya tidak suka kalau kesini, tidak suka dengan Bandung yang seperti ini. Mungkin ada sebuah pengalaman yang mengajarkannya untuk berubah.
Diamatinya gadis yang sedang menuangkan air ke dalam cangkir. Menakar kehangatan yang pas untuk diberikan pada seorang perempuan lansia yang hanya bisa duduk di kursi roda.
"Tehnya aku letakan di ... sini." Pevita mendekati meja di sana, meletakkan teh, "Masih agak panas, Nek."
"Tidak apa, lanjutkan saja yang lain."
Pevita mengangguk dan kembali ke dapur. Gadis itu bergumam dalam hatinya, bersenandung ceria dengan pelan. Dia berada di dapur, mulai sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Bahan bumbu dapur yang mulai dihitung agar membuat rasa yang pas. Kali ini adalah masakan spesial yang akan Pevita siapkan untuk neneknya. Sesekali dia melirik neneknya di sana, sedang diam menerawang dan sesekali menyesap tehnya.
Setelah beberapa lama, masakannya sudah mulai siap. Beberapa kali dia mencicipinya, rasanya sudah pas. Kompornya dimatikan, diangkatnya wajan, diletakkan nasi itu di tiap piring, semuanya sudah siap.
Pevita menghampiri neneknya, mengatakan kalau sarapan sudah siap. Lalu, dia mendorong kursi roda itu dengan hati-hati ke depan meja makan.
"Ayo nenek makan," ucapnya penuh perhatian.
"Aku ingin mencicipinya dulu," jawab neneknya dengan tertawa.
Pevita yang duduk berhadapan dengannya hanya memperlihatkan mimik wajah itu. "Enak?"
"Iya," jawab neneknya, "Sejak kapan kamu bisa seperti ini?"
Pevita terdiam sebentar, memori di kepalanya berputar dan itu bukan yang dia harapkan. Mulutnya tak bisa menjawab begitu saja. Dia berusaha menutupi itu, alasan yang sangat memalukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Return To Dylan
Novela Juvenil[ON GOING] - UPDATE SETIAP SABTU Katanya, kalau balikan sama mantan itu ibarat baca buku yang sama. Endingnya sama. Bagi Dylan bukan. Dia ingin memperbaiki kesalahannya, kalau memang akan berakhir sama, setidaknya ceritanya berbeda. Dylan hanya tahu...