Dylan telah bangun di hari Senin pagi ini cukup dikagetkan dengan kedatangan Mamanya yang sedang menyiapkan sarapan. Dari pintu kamarnya sudah terlihat Mama sedang membantu bibi menyiapkan piring. Melihat Mamanya masih sibuk, Dylan kembali lagi ke dalam kamar dan menutup pintu. Dia bergegas untuk merapihkan dirinya dengan seragam sekolah.
Sekarang Dylan hanya memikirkan bagaimana caranya agar Mama tidak terus marah-marah dengan Dylan. Dengan begitu, Dylan bisa tenang dengan harinya hari ini.
Sekitar 30 menit lamanya, Dylan sudah rapih. Dia membuka pintu kamarnya dan keluar. Di sana, dia tidak melihat lagi Ibunya. Namun, Dylan tetap menghampiri meja makan. Waktu berangkat ke sekolah masih lama. Nanti Gio dan Pras akan menjemputnya sekitar pukul 06.30. Itu bukan angka keterlambatan, upacara baru dimulai 15 menit setelahnya.
Dylan duduk pada sofa saja. Dia menyalakan televisi. Jam segini masih ada tayangan kartun kura-kura ninja. Pembantu yang melihatnya membawakan segelas susu hangat. Tak lupa Dylan mengucapkan terimakasih.
"Anak Mama udah rapih," ucap suara yang Dylan kenal, Dylan menoleh dan mendapati Mamanya sedang berjalan ke arahnya, "Kan kalau Dylan kayak gini terus Mama seneng."
"Apa, sih, Ma?" Dylan beralih pada layar televisi, "Udahan liburannya?"
"Mama seneng banget bisa liburan kemarin," jawab Mamanya dengan anggukan, "Bentar lagi kamu berangkat, kan? Sarapan dulu!"
"Iya ...," Angguk kepala Dylan, "Kangen masakan Mama."
Dylan berjalan mengikuti Mama yang juga berjalan menuju ruang makan. Ada hidangan sandwich kesukaannya di atas meja.
"Ma, liburannya gimana?" tanya Dylan yang telah duduk di sana.
"Mama seneng banget bisa ninggalin papa sama kamu sebentar." Mamanya tersenyum geli.
"Mama nggak tahu aja," ucap Dylan setelah mengunyah roti lapisnya, "Papa kan pulang malem terus."
"Mama tahu," ucap Mama Anjali yakin, "Papa lagi ngadain rapat untuk persiapan produk baru, kan?"
"Oh, ternyata Mama tahu," ucap Dylan mengangguk-anggukan kepalanya.
Tiba-tiba saja Ayahnya datang dengan setelan jasnya. Sudah rapih dan siap untuk berangkat ke kantor. Dylan sudah terbiasa melihat pemandangan ini, tak perlu dijelaskan. Orang tuanya memang lebih harmonis. Untuk itu, Dylan tidak ingin salah memilih perempuan. Orang itu harus yang benar-benar Dylan sayang dengan jiwa dan raganya. Seperti Mama, Dylan ingin mendapatkan perempuan yang perhatian. Minus dengan sikap Mama yang suka panikan. Kadang Dylan tidak menyukainya.
"Kamu berangkat bareng Papa, Dyl?" tanya Ayahnya yang telah duduk di hadapannya.
"Gak deh," jawab Dylan, "Nanti bareng Gio aja. Abis pulang sekolah nanti kita juga mau ke rumah sakit, jengukin Kakeknya Pras."
Ayahnya mengangguk, "Setelah menjenguk, segera ke tempat bimbel. Kamu nggak lupa, kan?"
Dylan meringis, dia melupakan hal itu.
"Ya ampun, anak Mama udah rajin, ya ... sampai bela-belain ikut bimbel gitu." Ibunya tiba-tiba ikut berbicara.
"Ini juga disuruh Papa," ucap Dylan malas, "Padahal, kenalan Papa dimana-mana. Masa nggak ada, sih, yang bisa bantu Dylan masuk kampus yang Dylan mau."
Ayahnya tersedak. Mama Anjali sangat kaget, dia memberikan segelas air mineral.
"Ck, Dylan, nih!" Mama Anjali menatap Dylan tajam, "Hidup kamu gampang banget, sih!"
Dylan hanya menatap malas.
"Siswa lain, tuh, belajar sungguh-sungguh supaya dapet universitas favorit. Kamu dengan gampang bilang begitu. Kalau begitu caranya, kamu bukan orang yang bisa survive di kampus. Dunia kuliah itu tingkat real life, yang bertahan adalah yang dari awal sampai akhir bersungguh-sungguh. Bahkan sebelum dia memulainya, dia sudah siap dengan planning dan wawasannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Return To Dylan
Novela Juvenil[ON GOING] - UPDATE SETIAP SABTU Katanya, kalau balikan sama mantan itu ibarat baca buku yang sama. Endingnya sama. Bagi Dylan bukan. Dia ingin memperbaiki kesalahannya, kalau memang akan berakhir sama, setidaknya ceritanya berbeda. Dylan hanya tahu...