Try to Talk

786 18 3
                                    

Sejujurnya ini hari pertama Dylan mengikuti kelas bimbelnya. Setelah menjenguk Kakeknya Pras, Gio dengan sukarela mengantar Dylan ke tempat ini. Jaraknya tidak jauh dari sekolah, sengaja Dylan pilih agar tidak merepotkan perjalanan pulangnya, atau Dylan lebih ingin kesini lebih awal sebelum dia menyesal. Andai Papa tahu, sebenarnya Dylan sudah memiliki pemikiran seperti ini. Ya, Dylan memilih tempat bimbel yang dekat dengan sekolahnya karena jika dia yakin ada waktunya dia ingin bersungguh-sungguh, dan datang lebih awal.

Masuk ke dalam sana, Dylan mendapati seorang perempuan berkerudung sedang duduk di depan meja. Perempuan itu sempat menoleh ketika mendengar pintu terbuka. Dia berdiri, "Adiknya ada perlu apa? Mau bimbel, kan? Kenapa baru datang? Kan kita sudah mulai sejak hari selasa yang lalu."

"Maaf, saya terlambat. Saya melupakan jadwalnya." Dylan tidak tahu lagi apa yang harus dia jelaskan.

"Namanya siapa?" tanya perempuan itu lagi.

"Dylan," jawab Dylan dengan cepat.

"Dy ... lan ... Se ...."

"Dylan Artha Galuh," ucap Dylan dengan cepat.

"Oke," ucap perempuan itu sambil mengacungkan jari telunjuknya tapi tetap fokus pada berkas, "Dylan Artha Galuh, Kelas Soshum, kelompok satu. Ruangannya ada di lantai dua, di pintunya ada tulisan kok."

"Oh gitu," ucap Dylan dengan santai, "Terimakasih."

Dylan menyusuri tempat itu, menaiki tangga. Lantai dua ini sangat tertutup, mungkin agar lebih kondusif suasana belajarnya. Setelah memperhatikan setiap ruangan dan daun pintunya. Akhirnya, Dylan menemukan kelasnya.

Sampai di depan pintu itu, Dylan sempat ragu untuk masuk. Namun, percuma dia pergi lagi. Dengan keyakinannya pada diri sendiri, Dylan akhirnya mengetuk pintu tersebut, kemudian membukanya.

Terlihat ada beberapa orang yang tengah melihat ke arahnya. Dylan tersenyum ragu, "Permisi ...."

"Kamu ... Dylan Artha Galuh?" tanya seorang pria yang masih sangat muda.

Dylan mengangguk.

"Silahkan duduk!" Pria itu menunjuk satu kursi yang kosong.

Dylan mengikuti instruksi. Dia sedikit bingung dengan deretan kursi yang dibentuk seperti huruf u. Duduk di sana, Dylan memperhatikan teman-teman di sekitarnya. Jumlah muridnya hanya delapan. Ada yang berseragam sama, ada juga yang tidak. Memperhatikannya satu persatu sekilas, Dylan kembali menoleh ke sampingnya ketika melihat wajah yang familiar di matanya.

Bukan hal yang lucu jika ini kebetulan. Dylan juga tidak serius menanggapi bahwa ini takdir.

"... Bisa kan, Dylan?"

Dylan sontak kaget, dia menoleh pada gurunya. Tingkah anehnya, dia hanya mengangguk pura-pura mengerti.

Dylan hanya mengeluarkan alat tulisnya. Sementara buku paketnya belum dia terima, Dylan hanya memperhatikan angka-angka pemasaran di papan tulis. Sempat Dylan meremehkan ini, karena Dylan pernah mempelajarinya. Lagi pula, caranya tetap sama. Penjelasannya cukup panjang, sementara pikiran Dylan tidak selalu fokus. Dia diam-diam memperhatikan perempuan di sampingnya.

"Pevita," panggilan itu membuat Dylan ikut menoleh, jelas dia kaget.

"Huh?" Pevita terlihat kaget.

"Wajah kamu sedikit berubah ...," ucap pria itu sambil mendekati Pevita, "Ada sesuatu yang sulit?"

Dylan cukup melihat interaksi keduanya. Pevita dan pembimbing itu seperti sudah dekat. Namun, hal yang membuat membuat Dylan semakin aneh, ketika melihat rona merah di pipi Pevita. Sejak kapan? gumam Dylan dalam hatinya. Mengapa rasanya geram sekali melihat itu.

Return To DylanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang