Sunday

922 17 2
                                    

Setelah berolahraga mengelilingi kompleks perumahan, pagi ini Dylan sudah di hadapan Ayahnya yang mau berbicara serius. Semua sekali belum ada perbincangan, Dylan tahu ayahnya akan memarahi Dylan karena banyak hal yang terjadi minggu ini.

"Mandilah," ucap Ayahnya yang sedang membaca koran, "Jangan lupa sarapan."

Dylan akhirnya pergi ke kamarnya. Mamanya sudah dua hari tidak terlihat, ingin Dylan bertanya, tapi dia yakin Papa akan mengabaikannya. Dylan sampai di kamarnya yang terletak di lantai dasar. Kamar remaja yang masih penuh dengan poster, yang paling besar poster Michael Jordan. Kecintaannya pada basket begitu besar.

Semuanya dimulai ketika Dylan berumur 11 tahun. Dia diajak ke turnamen NBA di Amerika Serikat oleh Ayahnya. Dylan merasa menjadi pemain basket itu sangat keren, bisa mempunyai tinggi badan yang ideal, badan yang fit dan digemari banyak orang. Nilai plus buat orang yang memiliki wajah tampan seperti Biboy. Dylan termasuk orang yang percaya diri kalau dirinya tampan, karena dia berhasil masuk dalam jejeran the most wanted boy di sekolahnya.

Setelah Dylan selesai mandi, dia mencari baju di lemarinya. Dia mengambil polo shirt dan celana selutut, kemudian mengenakannya. Rasanya sudah lama Papa menunggunya, sudah lama juga Dylan diam di kamarnya tanpa tahu apa saja yang tadi dia pikirkan.

"Pa," ucap Dylan ketika keluar dari kamarnya, menghampiri meja makan, "Mama kemana?"

Papanya menghampiri, duduk dan mengambil selembar roti lalu dioleskan selai kacang, "Mama ke Belanda."

Dylan yang sedang meminum susu di gelas tiba-tiba tersedak. Sampai batuknya berhenti dia mulai berbicara, "Kok Dylan nggak tahu?"

Galuh menelan roti yang ada di dalam mulutnya, "Papa juga baru tahu semalam. Dia cuma bilang mau liburan seminggu."

"Sama siapa?" tanya Dylan lagi.

"Sendirian, sih. Dia bilang mau jauh-jauh dulu dari kita."

Dylan cukup terperangah, belum pernah Mamanya seperti ini. Pergi ke luar negeri, tapi sama sekali tidak mengajak Dylan atau bahkan Ayahnya. Jangankan mengajak, memberitahu kabar saja tidak.

"Mungkin bisa lebih lama, dan Papa mau nyusul."

Dylan menautkan alisnya, semakin heran, "Nyusul? Ke Belanda?" tanya Dylan dengan menunjukan ekspresi jijiknya, "Kayak pasangan baru mau bulan madu aja."

Galuh meletakan cangkir berisi kopinya di atas meja, "Ide kamu bagus juga!" Ayahnya Dylan ini terlihat sangat senang, "Gimana kalau Adik baru?"

Dylan merubah air wajahnya, sama sekali tidak suka. "Waktu Dylan minta nggak di kasih, sekarang Dylan udah nggak mau!"

"Sepertinya Papa mau ngajak Chloe pergi hari ini," ucap Galuh.

"Ngapain? Mau dibuang mentang-mentang Dylan nolak buat punya adik."

"Bukan begitu, Dylan," ucap Galuh dengan tenang, "Kayaknya Chloe mau nikah, deh. Jadi, anaknya temen Papa punya penangkaran anjing, dia punya Siberian husky betina."

"Papa tahu nggak penangkaran anjing apaan?" tanya Dylan dengan wajah yang kesal, "Pasti isinya anjing liar, kalau Siberian betina itu gila gimana? Nggak boleh!"

"Tenang aja, yang Siberian ini cantik dan kalem. Udah pokoknya urusan Papa kalau Chloe kenapa-napa."

Dylan diam. Dia merasa ini tidak adil. Ketika Dylan tidak dibolehkan untuk menjalin hubungan dengan perempuan, kenapa Chloe malah sebaliknya. Dylan juga mau dapat perhatian dari perempuannya.

"Kalau kamu nggak perlu, Papa kan selalu minta kamu fokus sama ujian nanti, lalu rencana kamu kuliah."

Dylan mengakhiri sarapannya, dia bersedekap dada kemudian. Sedang berpikir keras, mencari alasan yang memungkinkan agar direstui untuk memiliki pacar.

Return To DylanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang