Being weird with him

964 24 0
                                    

Sore kali ini berbeda, Pevita hanya berbaring di kamar yang dia tempati sementara. Pintunya ditutup rapat, dikunci hingga tidak ada yang akan masuk ke kamarnya. Musuh terbesarnya tahun kembali, Pevita ingin bersembunyi, mengatakan kalau dia tidak ingin kembali kemana dia berada.

"Pevita," panggilan itu lagi membuatnya semakin mengeratkan guling yang dia peluk.

"Besok aja pulangnya, Paman Jo!" Pevita berteriak memberanikan dirinya melawan ucapan Paman Jo.

"Ya, keluar dulu sebentar. Aku ingin bicara!"

Pevita melepaskan pelukannya pada guling, dia tidak kuat mendengar ucapan Paman Jo yang begitu keras. Bicara apa? Pevita mulai curiga.

"Kamu bisa pulang nanti, ayo keluar, ini masalah penting."

Pevita berpikir keras, tidak biasanya seperti ini. Setelah itu dia keluar dari kamarnya, membuka pintu perlahan seolah takut kalau terjadi apa-apa dengan dia, terlebih Paman Jo yang tidak pernah pandangan bulu pada Pevita.

"Ada apa?" tanya Pevita ketika sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Wajahnya dibuat cemberut tak suka.

"Tentang pernikahan nanti, aku cuma mau kamu tahu. Duduklah!" Paman Jo menariknya untuk duduk di hadapannya.

Pevita duduk, tapi menyadari tidak adanya nenek di antara mereka dia menjadi takut. Mungkin masalah yang lebih serius dari pada ini.

"Aku dan Dalla sudah merencanakan semuanya. Dua Minggu lagi, aku akan melamar Dalla secara resmi dengan keluarga kami. Jadi, aku akan meminta ayahmu untuk mewakili keluarga ini. Kamu bisa pastikan kalau Ayahmu akan datang, kan?"

Pevita mengerutkan keningnya, "Emang bisa, ya?" Pevita balik bertanya, dia tidak yakin Ayahnya akan datang. "Mami kemarin bilang, kalau Kak Stevan akan lulus S2, gak tahu sih kapan lebih tepatnya."

"Tenang aja, Paman udah bilang sama Papi kamu, dia bisa pastikan kalau dia datang setelah acara kelulusan S2 kakak kamu."

Pevita hanya mengangguk, "Terus?"

"Sekarang, aku tanya." Jo melihat Pevita dengan serius. "Kamu mau ikut ke acara lamaran gak?"

Pevita membelalakkan matanya, dia mengangguk pasti, "Mau! Astaga akhirnya aku bisa lihat wajah Bibi Dalla yang sesungguhnya."

"Kalau aku bilang jangan gimana?" tanya Paman Jo.

"APA?" Pevita terkesiap, dia berdiri dari tempatnya duduk. "Nggak usah nikah kalau kayak gitu! Lagian apa susahnya, sih, kalau dari awal ngasih tahu aku bagaimana sebenernya wajah Bibi Dalla?"

Paman Jo hanya menahan tawanya, "Baiklah, siapkan dirimu agar tidak menyesal."

Pevita kembali duduk, menatap wajah Paman Jo dengan kesal.

"Oh ya, segeralah pulang. Supirmu sudah menunggu di luar." Paman Jo melanjutkan ucapannya, sambil berdiri, setelah itu dia pergi.

Pevita yang mendengar itu segera menuju jendela, melihat keluar halaman. Ternyata benar, Pamannya itu membawa supirnya. Di halaman depan Pak Bram tengah berkeliling seolah menikmati udara segar.

"Paman Jo!" Pevita memanggil nama itu dengan lantang, "Kenapa bawa Pak Bram?"

Jonathan, dia kembali pada Pevita. "Agar kamu tidak beralasan lelah di jalan dan memilih lebih lama disini."

"Sekarang aku beneran nggak mau pulang. Besok sekolah libur."

"Pulang saja. Sementara libur, kamu harus cari tempat bimbel, kamu harus lulus dengan nilai bagus, kan?"

Pevita memutar bola matanya. Lulus, nilai bagus, fokus, rajin dan lain-lain yang membuatnya terasa terkekang.

"Kak Stevan sudah lulus S2 bukan? Kalau dia kembali ke Indonesia, apa yang mau kamu lakukan?"

Return To DylanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang