Destiny is not real

683 18 1
                                    

Dylan telah menyesap rokoknya sampai habis, terhitung ini adalah bungkusan ketiga hari ini. Dylan sendiri tidak tahu persis mengapa dia menggilai hal ini, baru kali ini. Di luar Cafe, Dylan telah ditemani Pras, mereka sama-sama duduk tanpa berucap apa-apa.

Entah dianggap apa, Pras semakin kesal dengan tatapan Dylan yang kosong sekarang. Pras sedikit tersiksa menemani Dylan yang dari tadi diam dan menghirup asap rokok terus-terusan. Pras merasa seperti tong sampah yang hanya menyesap sisa. Pras jadi sempat ikut menyesap rokoknya, dia tidak ingin hanya menghirup asap. Jadi, Pras hanya menikmati cappucinonya dan bolak-balik memainkan ponselnya.
Sementara itu, Dylan masih bergulat dengan pikirannya. Entah apa, rasanya berat sekali, tapi dia benar-benar kosong.

“Mau kemana lo abis ini?” tanya Pras, setelah mengalah pada gengsi.

Dylan sejenak mengangkat bahunya, “Enakan kemana?”

“Pulang mendingan!” Pras memang sedikit marah, tapi dia tidak bermaksud untuk membuat Dylan ikut kesal, “Kemarin kan lo di rumah Gio, kalau sekarang lo ke rumah gue, nyokap lo nyariin!”

“Gue bete, di rumah nggak ada temen,” ucap Dylan pelan, dia telah menyadarkan punggungnya pada sandaran kursi.

“Bawa Chloe pulang,” ucap Pras, “Lagian pake nitip ke orang!”

“Ya abis mau gimana lagi, Papa gue yang minta. Lo kan tahu gimana gue kalau nggak nurutin ortu.” Dylan meminum lattenya yang dingin.

Pras masih memainkan ponselnya, menjawab pesan dari Gio, mencoba membuat Dylan buka mulut dengan apa yang terjadi pada laki-laki itu. Dari kemarin, Gio sudah berusaha menanyakannya, tapi tidak berhasil juga.

Kali ini Gio menyuruh Pras untuk membuat Dylan mengaku apa yang dipikirkan. Masalahnya paling tidak jauh-jauh dari perempuan. Gio dan Pras berasumsi kalau itu Pevita, tapi mereka tidak tahu apa masalah besarnya.

"Makanya jadi anak nurut dikit Napa, Dyl! Lagi juga kenapa lo susah banget diaturnya, suka banget bikin ortu Lo naik darah. Giliran mereka udah ngambek baru Lo turutin."

"Biarin, ah, nyokap bokap gue ini."

"Tuh, kan, dibilanginnya ngeyel!" Pras hanya menyapu sudut pembicaraan ini, mungkin masalahnya ada di sini. "Kan ortu lo udah janjian banyak hal, termasuk ngizinin lo Deket sama cewek, itu kalau lo bisa jadi anak yang baik."

"Ya elah, udah biasa itu mah. Itu cuma iming-imingan mereka aja."

Pras merasa tidak yakin dengan argumennya sendiri. Berarti masalahnya bukan pada keluarga Dylan, Dylan tidak menunjukan wajah frustasinya lagi. Ini seolah Pras telah mengalihkan perhatiannya dari masalah Dylan yang sebelumnya.

Pras menghubungi Gio lagi, memastikan kalau bukan masalah keluarga yang ada pada pikiran Dylan.

Dylan diam, dia mulai mengindahkan ponselnya yang bergetar. Kemudian, dia mengambil ponselnya dari saku celananya. Beberapa pesan memenuhi notifikasi pada layar terkunci, juga panggilan masuk dari Mamanya.

Dylan berdecak kesal, dia tidak ingin diganggu pada situasi seperti ini. Mama selalu saja membuatnya pusing, pasti Mama sedang perlu bantuan.

Ponselnya berdering lagi karena panggilan masuk dari Mamanya. Akhirnya Dylan mengangkat teleponnya, “Hallo, Ma.”

“Kamu dimana Dylan?” tanyasuara disebrang sana dengan nada yang cukup kesal.

“Lagi main sama Pras.”

“Main-main masih aja kayak anak kecil! Cepet pulang anterin Mama!”

“Ck, kan ada taksi, Ma ....”

Return To DylanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang