Pevita merapihkan tempat tidurnya, pikirannya seharian melayang kalau Dylan tidak menghubunginya. Apalagi ini hari Minggu, hari ini bahkan mereka tidak menghabisi akhir pekan bersama seperti biasa. Bagaimana Pevita bisa tahan tanpa kabar Dylan seharian? Ini semakin menguatkan kepercayaannya pada orang-orang yang bilang kalau Dylan punya pacar lain selain Pevita.
Pintu kamarnya diketuk, menimbulkan suara yang keras, "Pevita!"
Pevita menghembuskan nafasnya jera. Kalau sudah seperti ini, jangan melawan Revo.
"Woy! Bocah anoreksia!"
"KENAPA?!" Pevita membentak keras, sekaligus melampiaskan kekhawatiran pada Dylan. "Masuk aja, gak dikunci!"
Pintu yang dibuka terdengar. Pevita menghadap Revo yang baru menimbulkan kepalanya dari celah pintu.
"Kenapa?" tanyanya dengan wajah yang judes.
"Tumben lo gak jalan?" tanya Revo, dia mulai berani masuk kamar perempuan itu. Pintunya sengaja dia buka lebar.
"Gak tahu, Dylan gak bales pesan gue!" Pevita sedikit merajuk.
"Emang dia kemana?" tanya Revo lagi.
"Dibilang gak tahu!"
"Yeah ... nyolot, gue nanya baik-baik juga!" ucap Revo yang telah duduk di sofa kecil milik Pevita. "Padahal udah tahu kalau dia punya simpenan."
"Ah, bikin kesel lo!"
Revo diam sesaat. Sementara Pevita kembali duduk di pinggir ranjangnya. Dia mengambil ponselnya di atas nakas dan memandangnya penuh harap.
"Vo ...," panggil Pevita pada Revo yang memandangnya lurus, "Gue mau pura-pura gak tahu aja soal Dylan yang selingkuh. Kalau kayak gitu boleh, kan?"
Revo meringis ngeri, "Gue sebagai cowok ngeri dengernya."
Pevita mengerutkan dahinya, heran.
"Baru denger gitu! Seolah-olah gue mimpi kalau pacar gue ngebolehin gue selingkuh," ucap Revo, "Mungkin bagi cowok lain, mereka seneng aja. Dapetin lo, tapi bisa colek cewek lain juga."
Pevita mendengarkan.
"Gue, sih, gak kayak gitu! Gue gak pernah selingkuh, soalnya gue mau memahami perasaan perempuan. Perempuan itu nyokap gue, adek gue, kakak gue, dan lo juga. Gue nggak setuju kalau lo malah kayak gini, Pev. Bodoh tahu?"
Pevita menunduk, tidak berani menatap Revo yang berkata dengan tatapan yang begitu membara. Dia melihat layar ponselnya, menunggu balasan dari Dylan.
"Mungkin gue yang lebih bego, gue gak tahu gimana caranya bikin lo gak punya pikiran kayak gitu. Kalau lo emang udah tahu, lebih baik kalian berdua aja yang selesaiin. Mungkin Dylan emang gak mau ngaku, tapi lo bisa punya bukti. Jangan serakah juga, tapi maaf, mungkin Dylan emang udah bosen!"
Pevita mendengarkan. Dia sangat sakit mendengarnya, dia tidak bisa memungkirinya. Sangat kejam. Dia yang membuat Dylan merasa kalau permainan laki-laki ini berjalan mulus dengan menyembunyikan hal-hal yang dia ketahui dari orang lain.
Ponsel Pevita tiba-tiba berdering. Dia melihat layarnya, ternyata Dylan menelepon.
Pevita melirik Revo yang belum juga pergi dari tempatnya, bahkan Revo sudah menatap curiga pada ponsel Pevita. Pevita menatapnya tajam, dia meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkan Revo untuk tidak bersuara.
"Halo ...."
"Sore, sayang."
"Kamu dimana?" tanya Pevita memulainya, sejak mendapatkan jeda lima detik, Dylan tidak mengucapkan apapun selain menyapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Return To Dylan
Roman pour Adolescents[ON GOING] - UPDATE SETIAP SABTU Katanya, kalau balikan sama mantan itu ibarat baca buku yang sama. Endingnya sama. Bagi Dylan bukan. Dia ingin memperbaiki kesalahannya, kalau memang akan berakhir sama, setidaknya ceritanya berbeda. Dylan hanya tahu...