PERGI LAGI

1.3K 54 0
                                    

"Mau ketemu Dika?" tanyanya.

Caca menunduk di meja makannya, ia membiarkan rambut panjangnya menutupi tulang tulang wajahnya. Tangannya terlipat di atas meja, jari jari kanannya bergerak gerak tanda kecemasan.

Dimas mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Caca, tangannya menyingkirkan rambut panjang lembutnya di belakang telinga Caca.

"If you want to meet him, do it. it's okay. But, let me to stay meet you next time if i want. How?"

Caca menengadahkan kepalanya. Ia menatap mata Dimas. Dalam. Sangat dalam. Mencari sebuah jawaban sederhana.

Dimas menarik telapak tangan Caca dari lipatannya, mengeluarkan tangan dinginnya yang disebabkan karena kegugupannya. Dimas tersenyum. Saat ia sadar, bahwa perempuannya menatapnya begitu tajam. Dan memohon sebuah pengampunan.

"Aku pergi." kata Dimas. Ia mengambil mantelnya, meninggalkan uang di dalam dompet bill warna hitam. Tubuh tingginya, rambut pomadenya, hingga aroma tubuhnya semua pergi pelan pelan dari pandangan Caca. Caca semakin menunduk dan menjatuhkan kepalanya di atas tangannya.

"Arrggghhh, kacau." gerutunya.

"Dateng nggak ya?" lanjut Caca.

Penantian lamanya, kini ia bisa petik. Dan? Iya, ketika ia petik buah manis dari penanaman pohon penantiannya, ia kehilangan keindahan pohon itu. Dimas. Laki-laki pintar, sabar, dan tampan. Teramat tampan. Ia cukup egois, tapi bagaimana caranya menolak rasa? Rasa yang bersumber dari hati, rasa yang pahit. Tapi cukup empiris. Cukup nyata untuk melukai pula. Kericuhan hatinya berdentum tanpa rythme. Tak bisa lagi ia relakan waktunya untuk menunggu. Menunggu lagi. Dan menunggu kembali lagi.

"Hallo?" kata Caca yang mulai menaikkan kepalanya tanpa melihat nomor ponsel di layarnya.

"Ca, papa keluar kota 1 bulan. Jam 10 malam berangkat, kamu dimana?"

"Ohh, kok mendadak sih pa? Caca lagi di restauran ini."

"Papa jemput ya. Kirim lokasinya"

"Iya pa"

Caca menggerakkan jempol kanannya untuk membagikan lokasi dimana Caca sekarang kepada papanya. Sekitar sepuluh menit ia menunggu papanya dan ia masuk kedalam mobil putih dan langsung menyenderkan tubuhnya.

"Jadi, sampai mana proses tunangan kamu sama Dimas?"

Caca tetap memejamkan matanya, dan mengangkat bahunya.

"Bertengkar lagi?' tanya papanya.

"Nggak kok." jawab Caca cuek sambil menutup matanya.

"Dika lagi?" tanya papanya santai, dan membuat mata Caca terbuka dan langsung menoleh ke arah papanya.

"Pa?"
"Apa?"
"Cowok itu dilihat seriusnya dari mana sih pa?"
"Tindakannya."
"Lebih spesifiknyaaa" pinta Caca.
"Dilihat seberapa banyak ia menepati janjinya. Dika kan?"

Caca terdiam dan mengalihkan pandangannya. Papanya berhenti di tepi jalan, mematikan mesin mobilnya.

"Dengerin papa ya Ca, bagaimana caramu mempercayai laki-laki yang tidak membuat laki-laki yang jatuh cinta ke kamu pertama kali ini nggak bisa percaya?"

"Paaa.."

"Kita sama sama laki-laki, papa tahu persis maksud Dika. Papa mau kamu pergi dari Dika" jelas papanya tegas.

Papanya melajukan mobilnya. Seorang pria yang sudah hampir setengah abad, tapi juga masih berkarisma di depan perempuan. Yaitu papanya. Bisakah bajingan memberhentikan seorang bajingan untuk menyentuh mutiaranya?

SISA HUJAN SORE ITUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang