SECOND : Entah Kebetulan atau Takdir

422 95 133
                                    

Matahari terlihat ceria untuk muncul diatas kepala. Membuat penjual es cendol, es kelapa muda dan sekeluarga es menjadi minuman yang cocok untuk cuaca tersebut.

Ditambah lagi kelas Vandita yang baru saja menyelesaikan pelajaran olahraga di jam ke dua. Yang membuat banyak murid cewek mengeluh. Entah keluhan capek, panas, atau bedak luntur, bau badan, dan lain sebagainya.

"Ayo ikut gue! Gue lapar," ajak Sheila dengan muka di tekuk, hari itu kerjaannya hanya marah-marah. Mungkin dia sedang mengalami masa yang sering dikatakan 'PMS' atau Perempuan Menjadi Singa.

***
"Buk, mie instan dua sama es teh dua ya!" Sheila melambaikan tangannya kepada ibu kantin yang tepatnya kantin nomor dua dari pojok kiri, karena ia sengaja ingin duduk di bawah kipas angin.
"Es nya banyak ya buk!" ditambah suara Vandita yang tak kalah keras. Sedangkan ibu kantin hanya membalas dengan acungan jari jempol.

Setelah pesanan mereka sampai, dengan cepatnya Sheila melahap mie instan yang ia pesan.

"Sheil? Bisa pelan-pelan? Nanti bisa ke--"

"Gak bisa Van, gue lapar banget. Dari pagi gue belum makan apa-apa," ujar Sheila dengan mulut penuh. Sedangkan Vandita hanya menelan ludahnya.

Pandangan Vandita teralihkan dengan segerombolan cowok yang menuju ke arah lorong kantin. Ia tak mengenali semuanya, hanya mengenali Rizky yang merupakan teman sekelasnya sebelum penjurusan. Atau lebih tepatnya saat Masa Orientasi Siswa.

"Riz, lo mau kemana sih? Duduk sini aja kali. Ini ada Sheila juga," ujar salah satu cowok yang ada di belakang Rizky, entah siapa yang bicara, postur tubuh Rizky yang tinggi menutupi badan cowok itu, hanya terlihat jambulnya yang sengaja di tata rapi.
Namun suaranya sudah tidak asing lagi di telinga Vandita.

"Hai, Vandu!" sapa Rizky dengan melambaikan tangannya.
"Hai, sini gabung." Ajak Vandita kemudian.

Ke lima cowok itu segera menduduki bangku kantin yang sedang Vandita tempati. Ia melihat kursi sampingnya. Cowok itu,
"Ini kan, cowok gila yang gak punya rasa takut sama guru kemarin," ujar dewi batinnya. Ia mulai menyesali perkataannya dengan mengajak Rizky se-geng nya untuk bergabung.

Vandita menggeser sedikit kursi yang ia duduki, sedikit menjauh.

"Hai mbak, nggak usah di geser. Aku nggak gigit kok, aku jinak kok," ujar cowok itu yang membuat seisi meja tertawa renyah. Terkecuali Vandita, ia hanya sedikit was was.

"Kemarin kita belum sempat kenalan kan mbak? Namaku Irvan mbak, Irvan Mahardhika. Temen-temen banyak yang manggil Micin, tapi panggil Irvan aja biar resmi, hehe," jelasnya sembari tersenyum seolah perkataannyalah yang paling benar.

Ia mengulurkan tangannya, sementara Vandita membalas uluran tangannya sebentar.

"Micin? Irvan? Kok gak nyambung ya?" Vandita berkata dalam hati. Ia tak mau menjadikan hidupnya rumit dengan berbicara dengan orang yang menurutnya agak gila.
"Mbak namanya siapa? Kok kenal sama Rizky?" ujarnya lagi.

"Gue Vandita, tapi manggilnya Vandu aja. Karena cuma orang ribet yang manggilnya Vandita, kan terlalu panjang. Gue kenal Rizky karena dia teman gue waktu MOS." Vandita melirik Sheila yang sibuk menghabiskan makanannya.

"Ooh jadi gitu, panggilannya Vandu biar simpel? Iya mbak, aku juga nggak suka yang ribet-ribet kok mbak, hehe." dengan senyum yang riang gembira. Wajahnya seolah bak orang yang tak pernah berbuat dosa.

"Hah? Gak suka ribet? Ini orang sehat gak sih sebenernya?" batin Vandita dengan menatap aneh wajah Irvan.
Sementara Rizky bersama yang lainnya sibuk memesan makanan di kantin,
"Van? Lo mau pesen apa? Gue pesenin deh," ujar salah satu temannya yang bernama Fauzi.

Berhenti Di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang