THIRTEENTH - Dilema

104 9 4
                                    

Vandita menyedup kopi yang ia pesan disalah satu kedai kopi yang dekat dengan sekolahnya. Hatinya gundah, hanya kopi yang bisa menenangkan pikirannya.

"Van, sendirian aja? Gue boleh duduk?" suara berat itu berhasil membuat Vandita mendongakkan kepalanya.

"Randi? Silahkan. Gue sendirian kok," tutur Vandita diiringi senyuman khasnya.

"Mbak, kopi taro satu!" teriaknya pada pelayan.
Randi mengeritkan dahinya,
"Kok gak langsung pulang? Kenapa mampir dulu?"

"Hm, gue?" Vandita menaruh ponsel yang dari tadi ia pegang, "Memangnya gak boleh?"

"Ya enggak gitu juga, kan--"

"Haha, nggak apa-apa Ran. Gue di rumah sendirian, mama belum pulang, yaudah ngopi aja dulu,"

"Oh, gitu ya Van. Eh BTW gak enak ya manggil Van-Van gitu, kayak manggil Irvan tau gak," ujar Randi diiringi tawa kecil.

Vandita hanya tersenyum simpul. "Kan emang nama gue, Vandita." cewek itu berusaha mengelak ucapan Randi.

"Gimana kalau gue panggil Tata aja, biar beda kan ya?" Randi menggaruk pelipisnya yang sebenarnya tak gatal.

"Tata? Hahaha, boleh Ran!"

"Lo juga, manggil gue jangan Ran, Ran, gitu dong! Emang yang nyanyi Dekat Di Hati apa?"

"Terus apa?" Vandita tertawa mendengar jawaban Randi, nada bicaranya seperti kesusahan mencari kata-kata yang tak masuk akal.

"Panggil aja Tom. Kalau di SMP, gue dikenalnya Randi-Tom," ucapnya dengan bangga.
Vandita tersenyum heran, "Aneh, kayak Dika aja. Namanya Irvan Mahardika dipanggilnya Micin,"

"Ya kan Ta?" tanya Randi lagi.

"Eh, iya deh. Tom, Tom-ket?" Vandita bertanya tanpa rasa bersalah, ia tertawa lepas kali ini.

"Eh, jangan panggil Tomket dong," Randi melengos sebal.

"Hahaha, bercanda Tom."

Mereka bercerita tentang hal-hal konyol yang dinalar tidak layak masuk akal. Dari membicarakan kakak kelas yang selalu tidur saat rapat, membicarakan kepala sekolah yang hobby selfie dan lain sebagainya.

"Oh iya Ta, gimana kamu sama Irvan?" tanya Randi yang sedikit membuat Vandita tercengang.

"Gimana apanya? Semua udah kelar sebelum dimulai, Tom," Vandita melipat lengannya di meja makan.

"Dia beneran jadian sama Kak Melin?"

"Haha, Iya. Dan gue lihat sendiri. Dari kemarin gue udah tau kok, kalau dia mulai ngasih jarak ke gue,"

"Kok Irvan gitu? Emangnya status kalian apa sih?"

"Status?" tanya Vandita lagi,
"Kita itu cuma ke tidak sengajaan yang terpisahkan karena satu kesalah pahaman." ia tersenyum simpul.

Mereka berdua terdiam.

"Yang Irvan pikir itu, gue gak bakal jatuh hati sama dia. Tapi dia salah, Tom. Gue udah mulai ada rasa sama dia. Gue dekat sama dia itu rasanya kayak terbang tinggi, dia ngajak gue ke langit, tapi dia malah ninggalin gue. Rasanya itu kayak jatuh dari langit, saat dia ninggalin gue. Hancur, Tom!" jelas Vandita, air matanya jatuh. Ia tak mampu membendung air yang mulai deras.

"Tapi, dari sisi gue Ta, Irvan nggak serius sama Kak Melin. Menurut gue, Irvan itu sayangnya sama lo,"

"Itu kan pendapat orang, Tom. Nyatanya? Dia udah ninggalin gue."

Jam menunjukkan pukul 16.36. Yang berarti mama Vandita telah sampai rumah setengah jam yang lalu.

"Eh, Tom. Gue harus pulang, sori ya jadi curhat, hehe. Gue duluan ya Tom," ujar Vandita dan langsung menuju pintu keluar.

Berhenti Di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang