FIFTH : Nyaman

229 62 48
                                    

Pelantikan pengurus OSIS baru, yang mengharuskan seluruh pengurusnya datang pukul 14.00 di sekolah, untuk latihan.
"Mbak Van," teriak Della dari bawah tiang bendera, sembari melambai-lambaikan tangannya. "Eh, iya aku udah denger. Nggak usah teriak-teriak mbak," Ujar Vandita sembari mengampiri Della.
"Kak? Kenapa harus jam segini sih, latihannya?" ujar salah satu pengurus OSIS pada kak Dewa yang menjabat sebagai Ketua Osis di SMA HARAPAN BANGSA.

"Kok sudah ngeluh? Sementara kita harus latihan jam segini selama 9 hari kedepan," jawab Ketua OSIS yang membuat anggota barunya ricuh.

"Berarti, tiap hari aku bisa ketemu kamu. Van," ujar cowok yang tak tau sejak kapan sudah berada di belakang Vandita dan Della.

Vandita menatap wajah cowok itu. Sungguh, kali ini ia mengakui. Bahwa cowok yang selama ini dianggapnya gila itu benar-benar tampan. Rambut ikalnya yang dijambul rapi seperti biasanya. Alis tebal yang terukir diatas mata sipit namun tajam berwarna cokelat gelapnya,membuat Vandu tak bisa berhenti menatap. Hidung mancung serta kulit kuning langsatnya merupakan paduan yang sangat pas.

Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum.

"Sudah selesai, lihatin aku nya?" suara itu menghentikan lamunan Vandita. Dika bertanya dengan nada bangga.

"Siapa yang lihatin lo sih? Gue cuma mau nyari itu, apa.. Itu, iya.. Keanehan yang ada pada diri lo. Karena ya, gue.. Gue bingung. Kok ada ya cowok aneh kayak lo," ujarnya terbata- bata.

"Alasan," Dika tersenyum simpul,
"--Yang aneh itu, kalau sampai sekarang, kamu belum jatuh cinta." Dika memegang pundak Vandita.

Latihan pelantikan Osis telah di mulai. Dengan aba-aba PBB. Mulai dari balik kanan, balik kiri, langkah tegap hingga berhenti.

"Van," Lagi- lagi Dika berbicara. Sungguh, cowok itu tidak pernah kehabisan bahan bicara. Dari mulai yang tidak penting hingga tidak penting sama sekali.

"Hm,"
"Kalau dipikir-pikir, kita ini jodoh loh," ujarnya lagi dengan kalimat yang mengada-ngada.

"Eh, kok bisa?" balas Vandita.
"Coba kamu ingat-ingat lagi. Di kantin, pertama kali kita ketemu. Kita pesan makanan dengan menu yang sama," Ditatapnya cowok disebelahnya itu, ia sedang tersenyum. Vandu pun mengingat-ingat kembali kejadian sekitar seminggu yang lalu.
"Buk, gado-gado satu, sambalnya banyak--" Vandu pun tersenyum kecil mengingatnya.

"Terus besoknya kita ketemu lagi kan Ka?" ujar Vandita kali ini, yang membuat Dika sedikit tertegun.

"Kamu ingat?" tanyanya.

"Ingat lah, gue gak amnesia!" balasnya dengan nada sedikit di tinggikan. Tapi justru ekspresi wajah Vandita membuat Dika semakin memperlebar senyumnya.

"Terus,nama kamu Vandita, dan aku Irvan. Jika salah satu dari kita di panggil, kita pasti nengok barengan kan?" ujar Dika lagi.

"Iya lah, kan semua orang manggilnya 'Van' makanya kita sama sama nengok," kali ini nada bicaranya berubah. Tak seperti biasanya saat ia mengelak.
"Kurang apa lagi? Biar membuktikan kalau kita sebenarnya jodoh?" tanyanya dengan mengangkat alisnya.

***
"Eh mbak Van, cie, dari tadi ngobrol mulu sama Ipan," Goda Della yang hendak menuju tempat parkir.
"Gimana apanya?"
"Perasaannya mbak,"
"Nggak tau,"
"Ipan itu ganteng loh, andai aku jadi kamu mbak, udah aku ladenin," jelasnya.
Vandita tertawa geli.
"Yaudah, Irvan sama kamu aja," jawab Vandita.
"Ee ya nggak bisa, orang Ipan sukanya sama kamu mbak, ehehe,"
"Dia ganteng."
"Mbak Vandu juga suka?"
Vandita terdiam. Entah dia ingin mengatakan apa. Tapi hatinya selalu ingin bilang 'IYA'.

"Sekarang enggak suka, tapi nggak tau kalau malam nanti,"

***

Vandita melemparkan ponselnya ke kasur. Setelah membasuh badannya, sebenarnya ia ingin menonton serial TV kesukaannya. Serial India. Tapi sayang, Tuhan berkehendak lain. Ia memejamkan matanya hingga terlelap.

Berhenti Di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang