TENTH - Kamu Yang Ada Di Hatiku

176 27 35
                                    

06:30.
Vandita sudah berada disekolahan, dengan rambut yang diikat. Penampilannya sangat rapi hari ini. Dengan membawa kotak makan berwarna biru yang akan ia berikan pada Dika. Ia yakin, sejak kemarin malam cowok itu belum makan.

"Vandita!" panggil seseorang di depan pintu kelas IPA-2.
"Cari siapa?" lanjutnya.
"Irvan ada?" Vandita sedikit ragu mengatakan nama itu pada teman sekelas Dika.

"Hai, beb!" sapa Dika sembari berlari kearah Vandita.
"Ka, aku bawa ini," ujarnya sembari menunduk, pipinya merah padam akibat kata panggilan Dika.
"Buat aku? Makasih ya Van," Dika langsung mengambil kotak makan yang Vandita bawa.
"Tapi aku lebih bahagia kalau kamu temani aku makan ini," Ajak Dika menuju taman halaman tengah. Vandita hanya mengekor dibelakang Dika.

***
Vandu menatap cowok disebelahnya itu dengan tersenyum. Dika memakan nasi goreng buatan Vandita dengan lahap. Ia memaklumi itu, ia tau benar, bahwa cowok itu benar-benar lapar.
"Jangan lihatin aku terus, Van. Nanti kamu makin suka," ujar Dika sembari tetap melahap makanannya. Vandita tak menjawab, ia hanya tersenyum. Ia tetap menatap cowok itu lekat lekat.

"Sungguh ku akui, dia adalah pahatan Tuhan yang paling sempurna," ujarnya dalam hati.

"Ye, habis!" ujar Dika kemudian, ia bak anak kecil yang berhasil menghabiskan sarapannya.

"Ka? Aku mau tanya sesuatu sama kamu," ujar Vandita pelan.
"Apa?"
"Cuma kamu Van, yang ada di hatiku. Masa mau tanya lagi?" lanjutnya.

"Kamu kemarin bohong 'kan?"
"..." tidak ada jawaban.
Vandita menatap cowok itu nanar.

"Jawab aku, Ka. Aku nggak mau kamu bohong." Vandita memegang tangan Dika.

"Kamu bisa cerita sama aku, masalah apapun. Aku bisa jadi pendengar yang baik," ucap Vandita, pandangannya tak lepas dari mata Dika yang tak berani menatapnya.

"Kamu boleh cerita sama aku, aku nggak keberatan. Kalau ada masalah itu jangan disimpan sendirian! Mau ada masalah tentang sahabat, sekolah, bahkan keluarga, kamu bisa cerita sama aku, Ka. Ya, walau masalahnya nggak ada hubungannya sama aku, tapi kan aku bisa bantu selesaikan," ujar Vandita, meyakinkan cowok disebelahnya itu.

"Iya Van, makasih buat sarannya. Aku cuma lagi ada masalah sama keluargaku kok," ujarnya diiringi senyum manis.

"Iya, aku akan cerita. Karena aku percaya sama kamu," lanjutnya, ia menatap Vandita pasrah.

"Sejak kecil Van, aku memang biasa hidup tanpa papaku. Aku udah biasa hidup bertiga. Aku, mama sama Dek Salsha. Aku juga belum tau masalahnya apa, tapi setiap papa pulang bawaannya selalu marah-marah. Nggak sama aku aja, sama mama juga. Dan kalau aku gak betah dirumah, aku selalu pergi dari rumah. Biasanya aku kerumah Rizky, dan tujuan kedua aku itu tempat kostnya pamanku yang mama sama papa nggak tau tempatnya." Jelas Dika, matanya memancarkan beban berat yang sedang ia alami.

Vandita tak menyangka, manusia seceria Dika sebenarnya berhati rapuh. Ia menyimpan baik ceritanya untuk diri sendiri.

"Kata papa, mama gak pernah becus ngurusin aku sama dek Salsha. Padahal enggak gitu, ini cuma tentang nilaiku yang biasanya dibawah rata-rata atau kadang aku pulang telat, Van. Papa nggak jarang main tangan sama mama, dan aku gak pernah tahan kalau papa ngelakuin itu." Dika melanjutkan penggalan ceritanya.

Vandita menatap cowok itu, ia merasa iba.

"Ka, iya memang benar kamu gak bisa tahan tinggal di suasana kayak gitu. Tapi menurutku cara kamu itu salah. Kalau kamu lihat mama kamu sedih kayak gitu, seharusnya kamu nggak perlu pergi dari rumah. Kamu gak kasihan, ninggalin mama kamu? Dan kamu nggak pernah tau 'kan Ka? Apa yang dirasakan mama kamu setiap kamu pergi?" Vandu memegang erat tangan cowok itu, digenggamnya erat-erat.
Ia seakan ikut larut akan apa yang dirasakan Dika.

Berhenti Di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang