NINTH : About Dika.

134 28 24
                                    

"Terus Ren! Kamu manjakan saja Irvan! Sampai dia berani melawan papanya," Ucap Jerry dengan nada tinggi. Telunjuknya mengarah pada wanita setengah baya itu.
"Oh, aku yang salah? Kamu manusia paling benar? Haha, seperti itu?" balas Reni, yang merupakan Ibu dari Irvan.

"Tugasku itu, cuma cari duit! Sedangkan kamu itu ngurusin keluarga!"

"Terus, yang kamu mau cuma terima beres? Sejak Irvan sama Salsha lahir sampai sekarang, pulangmu kerumah bisa dihitung! Kamu gak tau rasanya ngurusin mereka dari kecil sampai sekarang! Dan kamu bilang apa? Cari duit? Bukan cari istri lagi? Kamu juga gak tau, uang yang kamu cari untuk kita semua itu kurang! Maka dari itu aku usaha buka catering makanan! Dan satu lagi, kenapa uangmu bisa kurang buat mencukupi kita? Karena harus dibagi dua sama istri sirimu 'kan!" jawab Reni. Air mata yang ia pertahankan untuk tidak jatuh dihadapan pria bertubuh tegap itu ternyata sia-sia.

"Lancang! Bicara apa ka--" Jerry melayangkan tangannya. Tamparan itu berhasil mendarat pada pipi tirus Reni, yang membuatnya tak bisa berkata-kata lagi.

"Irvan pergi. Irvan gak betah disini!" suara Dika keras dari arah pintu.

"Van, kamu mau kemana nak? Ini sudah malam," ujar Reni mencegah anak sulungnya yang membawa koper dan bersiap pergi.

"Biarin dia, paling juga kelayapan sama orang orang gak jelas," ujar Jerry yang membuat mata putranya melotot.

"Gue bukan brengsek kayak Lo! Gue masih punya aturan! Seenggaknya, mama nggak pernah biarin gue kenal dunia seperti itu! Sebenarnya gue gak sering pergi dari rumah malam-malam. Itu semua gue lakukan tiap ada orang yang nyasar kesini sambil marah-marah!" jelas Dika sembari pergi membawa kopernya.

***
Pagi itu, pipi Vandits terasa mengembang. Efek bahagia? Mungkin saja!
Ia bangun tanpa harus menggunakan alarm, dan hasilnya? Tepat waktu.

"Selamat pagi Ma, Yah," sapa Vandita sembari menuruni anak tangga, ia melihat ibunya sedang mengoles selai pada roti isi untuk sarapannya.

Ia mempercepat langkahnya, karena Ia tau bahwa sepasang suami istri itu sedang menunggu anak semata wayangnya.

"Gini dong, anak ayah. Bangun pagi, mandiri!" Ayahnya membelai poni putrinya. Sementara Vandita dengan semangat melahap roti berisi selai keju yang dihidangkan khusus untuknya. Moodnya meningkat hari ini.

***

"Vandu?" sapa Sheila dengan tatapan heran.
"Lo tidur sekolahan? Lo nggak pulang semalaman?" lanjutnya lagi. Ini adalah kali pertama seorang Vandita Arrora tidak terlambat masuk sekolah.
"Enggak lah! Udah deh, buang pikiran negatif lo," Vandita melengos sembari menaruh tas yang ia gendong di bangkunya.

"Lo, udah jadian sama Ipan?" Sheila memelankan nada bicaranya.

"Proses."
"Lo serius?"
"Iya serius,"
"..."
"Dan sekarang, gue rela belajar berangkat pagi-pagi, cuma buat memastikan apakah dia masih hidup apa enggak," jawab Vandita dengan suara cukup keras, yang membuat depan belakangnya melihat kearahnya. Sontak, ia menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Lo yakin? Jatuh cinta sama Irvan-Irvan itu?" tanya Vanisa selanjutnya.

"Tapi Vandu cocok kok, sama Irvan." kini Agatha yang menjawab.

"Tapi, dia kayaknya gak serius deh. Muka-mukanya gak meyakinkan!" sahut Nur Aini, teman sebangku Vanisa.

Ya, mereka adalah tiga serangkai di kelas X-IPA4.

"..."
Vandita heran pada dirinya. Bisa-bisanya ia berbicara sekeras ini.

"Van, gue mau ngomong sama Lo, sebentar," sahut Sharen dengan menarik pergelangan tangan Vandita, untuk menjauh dari pertanyaan anak-anak alay itu.

Berhenti Di KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang