Pagi itu, cuaca tak begitu bersahabat. Awan gelap serta gerimis sekitar tengah malam membuat jalanan sedikit basah.
"Vandu, bangun! Kamu masih hidup 'kan? Masa tidur tiga belas jam?" terdengar suara teriakan serta gedoran pintu di depan kamar ber cat serba orange itu.
Malam itu, ia tidur tak nyenyak. Matanya masih sembab serta bibir yang pucat, tidak fresh. Benar-benar tidak seperti biasanya.
Ia beranjak dari kasurnya, masih memakai seragam sekolah. Setelah mandi dan berkemas, Vandita segera merapikan rambut yang menurutnya paling susah diatur. Ia hanya menyisir dan membiarkan rambut hitamnya terurai, kepalanya terlalu pusing jika harus berurusan dengan kepang mengkepang.
"Ma, Vandu nggak enak badan, dan nanti ada rapat pengurus OSIS sama ketua ekstra, paling cuma setengah jam. Nanti mama jangan telat jemput ya," Vandita menggendong tasnya.
***
Ia memasuki gerbang sekolah dengan langkah gontai.
"Hai, kamu yang namanya Vandita ya?" tanya seorang pria berpostur tubuh sedang, mungkin hanya beberapa cm lebih tinggi dari Vandita."Iya, kenapa ya?" Vandita menjawab dengan malas, kepalanya terlalu pusing jika harus berbicara banyak kata.
"Aku boleh minta pin BBM, Van?"
Tanpa bercakap lagi, Vandita memberikan kode batang pinnya pada cowok tersebut.
"Aku Ega," ujarnya mengulurkan tangan.
"Vandu," Vandita pun membalas uluran tangan cowok tersebut.Ia meneruskan langkahnya dengan pelan,
BRUK...
***
Terlihat ruangan serba putih serta tanda segitiga hijau yang bertuliskan UKS, dan bau-bau obat yang sangat menyengat."Van, sudah sadar?" terdengar samar-samar suara seseorang yang tak jauh dari tempatnya berbaring.
"Hm, Dika?"
"Syukurlah, kalau kamu sudah sadar Van,"
"Kok Kamu--" Vandita handak bangkit dari tempat ia tidur,
"Hust, kamu tadi pingsan. Dan ada yang kasih tau aku tadi," Jawab Dika pelan."Kemarin sama siapa?" tanya Vandu terus terang,
"..."
Hening."Ka? Kemarin kemana? Sama siapa?"
"Kan aku udah bilang, kalau itu teman aku, Van. Lagian kamu kenapa sih, tanya itu? Baru juga sadar," Kali ini Dika sedikit meninggikan nada bicaranya.Vandu tak bisa menjawab lagi, "Kenapa harus tanya sih? Kamu cemburu Van? Oh ayolah, kamu nggak berhak!" dercak Vandita dalam hatinya.
"Kamu sama Aditya ya?" pertanyaan Dika membuat Vandita sedikit tertegun,
"Kapan? Maksudnya?"
"Udahlah, aku udah tau. Kamu bilang suka kan? Ke Aditya. Dan kemarin diantar pulang Aldi kan?"Sungguh pertanyaan yang tak masuk akal. Vandita menggelengkan kepalanya,
"Kamu kenapa sih Ka?" Vandita dibuat tak percaya atas apa yang dikatakan Dika. Terlebih, pertanyaan itu untuknya."Haha udah, bilang IYA aja! Aku udah tau kok," jawab Dika enteng,
"Kenapa kamu jadi kayak gini? Ada yang salah dari aku? Kenapa sekarang kamu seperti memberi jarak antara kita?" Batin Vandita."Kepastian, Van!" ujar Dika.
Vandita seolah tak mengerti arti perkataan Dika yang ngelantur.
"Yaudah gini, ini bukan yang pertama kalinya aku bilang seperti ini ya. Jujur, aku cemburu Van! Aku cemburu lihat kamu masih muji-muji Adit, kamu pulang diantar Aldi. Karena itu, aku ingin kita terjalin dalam satu hubungan," ujar Dika memperjelas lagi.
Entahlah, nada bicaranya sudah beda. Ia seperti menguji jawaban Vandita lewat peryataannya.
"Ka, aku belum bisa," Jawab Vandita sembari menatap lekat Dika. Tapi tak ada yang berubah, ekspresinya tetap sama. Tak sedikitpun ia bersikap seolah dia patah hati atau semacamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berhenti Di Kamu
Teen Fiction"Kamu, adalah hal pertama, rasa pertama dan harapan pertama. Saat aku menginjak masa SMA." Berawal dari dimulainya pelajaran efektif untuk peserta didik baru yang sama sekali tidak menyenangkan, membuat Vandita jenuh dan memilih untuk pergi ke kant...