Bertepatan dengan kedua pria tampan itu masuk ke cafe, disitu pula bel yang ada di atas pintu berdering nyaring. Yang mana bel itu sebenarnya memberi tanda bahwa ada pelanggan yang hadir di cafe.
Buru-buru pelayan yang biasa melayani pelanggan yang baru saja hadir menghampiri Nazry dan Irzan.
"Lah, gue kira beneran pelanggan, ternyata kalian," kata pelayan yang sudah lama bekerja di cafe tersebut, bahkan Nazry dan Irzan pun mengenalnya seperti dia yang mengenal mereka. "Ayo silahkan masuk, mau pesen sesuatu atau langsung ke ruangan bos?"
"Langsung aja," jawab Nazry.
"Enggak! Gue mesen yang kayak biasa Ki," celah Irzan berbicara pada Rizki, atau biasa dipanggil Kiki.
"Oke kalo gitu," Kiki segera mencatat pesanan Irzan di kertas yang biasa dia bawa. Matanya melirik Nazry. "Kalo lo beneran gak mau pesen? Minum atau cemilan gitu?" tanya Kiki yang sepantaran dengan Nazry—umurnya. Makanya tak heran jika bahasa sapaan mereka seperti itu, karena itu adalah permintaan Nazry dan Irzan sendiri.
"Minum aja Ki," ucap Nazry. Lalu dia langsung melangkah ke tangga meninggalkan Irzan.
"Abang ih tungguin!" Irzan berlari menyamakan langkahnya dengan Nazry.
"Bacot anjir,"
Ketika sampai di lantai tiga, lantai yang dibuat khusus untuk privasi sang pemilik cafe, yang mana di lantai ini benar-benar dibuat nyaman seperti rumah. Ada empat ruangan besar: satu ruang kerja, satu kamar tidur, satu tempat bersantai yang didesain seperti ruang keluarga dan satu ruang tamu.
"MAMAAAA!" Suara Irzan melemah kala dia tidak mendapati Mamanya di ruang kerja. Dia menengok lemah ke arah Nazry. "Mama gak ada."
"Lagi ada tamu kali," kata Nazry melangkah ke ruang tempat bersantai.
Irzan yang kepo tidak mengikuti jejak Nazry namun dia malah berjalan ke ruangan tamu. Tangannya dengan santai membuka kenop, saat dia masuk, seketika semua mata tertuju padanya.
"Irzan," gumam Ratu, Mama Irzan yang tengah duduk menghadap tamunya. Ternyata benar dugaan Nazry. "Sini sayang, kebetulan kamu kesini."
"Ada apa Ma?" Irzan melangkah dengan tegap. Menghilangkan semua sifat—manja—yang biasa dia tunjukkan kepada keluarganya saja. Tidak dengan orang lain.
Ratu merangkul bahu Irzan yang sudah duduk di sampingnya. "Kenalin ini Irzan, putra bungsu aku." kata Ratu pada kedua orang temannya di masa SMA.
Aini dan Fajar tersenyum, menjabat tangan Irzan bergantian.
"Irzan," Dia tersenyum tipis. Walau begitu kadar ketampanannya tidak berkurang sedikit pun.
"Anakmu ganteng Tu," Aini berkata serius yang ditanggapi Ratu dengan candaan.
"Dia yang paling ganteng, Abangnya aja kalah, Ni." balas Ratu terkekeh.
"Oh dua anak kamu, dua-duanya laki-laki ya?" Aini menatap Irzan tersenyum. "Bisa dong dijodohkan sama dua anak aku yang dua-duanya perempuan juga."
Irzan yang sedari tadi melihat ekspresi Aini sangatlah risih. Aini tertawa, dia mengurangi volume tertawanya saat suaminya Fajar menyenggol lengannya.
"Aku belum berpikir tentang jodoh mereka," Ratu tersenyum menatap Irzan yang sedari tadi diam. "Biarkan mereka cari sendiri jodohnya. Toh, mereka sudah besar, sudah tau mana yang baik dan mana yang buruk."
Irzan tersenyum bangga mendengar jawaban sang Mama. Ini nih yang bikin Irzan jatuh cinta sama Mamanya sejak pandangan pertama—saat baru dilahirkan.
"Ah ya, aku cuma bercanda," Aini terkekeh mendengar penolakkan halus itu. Pandangannya beralih pada Irzan. "Kamu kelas berapa Nak?"
"Dua belas Tante,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Time [Irzan]
FanfictionSiapa yang tidak kenal Irzan Faiq Ronazy? Ada 3 hal yang membuatnya terkenal di dalam maupun di luar sekolah, yaitu : 1. Kelakuannya yang naudzubillah 2. Kepintarannya yang warbyazah 3. Ketampanannya yang subhanallah Hanya 1 keinginan Irzan... hatin...