m = -0,58

8.5K 726 297
                                    

Kemiringan Garis Kehidupan Seorang Dee: -0,58

[30 derajat dari titik ekuilibrium]



Kata Mama, aku adalah manusia paling absurd yang pernah ditemuinya selama empat puluh lima tahun dia hidup.

Mama mengatakan itu—kalau aku absurd—nyaris setiap kali aku sedang main dan liburan ke rumahnya. Suatu ketika, pernah Mama mencak-mencak sambil mengelap perabot-perabot di ruang tengah (percayalah, Mama bukanlah tipe wanita pecinta pekerjaan rumah ala-ala ibu idaman. Sebenarnya Mama termasuk mama idaman, sih. Lagian, karakteristik mama idaman nggak cuma buat wanita yang jago beresin rumah, 'kan? Soalnya, kalau memang begitu, berarti aku akan jadi mama-paling-tidak-idaman-sedunia). Waktu itu sedang akhir bulan yang menandakan kalau Mama belum gajian dan biasanya, itu adalah jadwal Mama datang bulan.

Intinya, saat itu, Mama marah-marah gara-gara aku menolak makananku dihangatkan. Nggak masuk di akal sih, memang (Mama sering marah karena sesuatu yang nggak masuk di akal, misalnya nggak suka kalau aku menulis dengan tangan kiri, nggak suka kalau aku ngupil pas lagi arisan keluarga, dan nggak suka kalau aku mencampur catatan dengan latihan dalam satu buku sewaktu SD dulu). Tapi memangnya, ada kata tidak masuk akal di otak wanita yang lagi datang bulan? Kayaknya enggak. Hmmm. Soalnya aku suka pakai alasan itu ke sahabatku—sekarang sudah jadi pacarku—kalau aku lagi bad mood saat datang bulan juga seperti Mama.

"Bentar, bentar. Mama bikinin minuman dulu," Mama yang sejak satu menit tadi hanya terdiam di depan pintu karena terkejut akan kedatangan anaknya (dan pacar anaknya) akhirnya buka suara. Aku memandang Ferdi, pacarku, sekilas. Wajahnya datar-datar saja dan tidak ada gurat kekhawatiran dalam ekspresinya itu. 

Aku tersenyum. Lucu banget, pikirku. Rasanya pengin kubawa ke kos-kosan dan kuawetin biar jadi pajangan yang dikeringin dan diawetin gitu (yang tentu aja nggak bakal kulakuin betulan. Soalnya kalau beneran kulakuin, genre cerita ini bakal berubah jadi thriller—dan biarpun aku nggak suka jadi cewek mainstream, aku juga bukan cewek psikopat yang mengawetkan pacarnya yang lucu buat jadi pajangan di kamar).

Mama menghilang setelah melewati lubang berbentuk pintu yang tanpa daun pintu. Dan sekali lagi saat itu, aku kembali menoleh ke arah Ferdi yang ekspresinya sudah lebih manusiawi sedikit. Dia tengah berkeliling pandang, memerhatikan setiap sudut ruangan dengan tatapan antusias. Dia selalu begitu, terutama dengan hal-hal baru (soalnya, interior rumah Mama emang keren, sih). Persis kayak anak kecil yang lagi masa pertumbuhan. Selalu ingin tahu.

"Gugup?" tanyaku beberapa detik setelah membiarkan dia memuaskan rasa penasarannya. Ia menolehkan pandangan ke arahku. Wajahnya masih datar saja seperti biasanya.

"Lumayan," jawabnya seraya mengulum senyum tipisnya. Aku ikut tersenyum, lebih lebar dari senyum yang Ferdi tampilkan.

Aku bersahabat dengan Ferdi sejak kelas 11 SMA. Waktu itu, dia sangat pendiam dan agak menjaga jarak dengan perempuan. Aku, yang selalu mau tau dan sering sok akrab sama banyak orang, jadi penasaran dan berusaha mendekati cowok ini. Bukan buat modus loh ini, aku murni deketin dia cuma buat kenalan aja karena radar-penangkap-orang-anehku mengatakan kalau Ferdi agak sejenis denganku. Apalagi waktu itu, nama cowok itu benar-benar mencolok di antara anak-anak lain yang namanya ribet dan susah diingat. Banyak yang salah paham dengan berpikir kalau Ferdi adalah cowok bule asal Eropa yang matanya biru kayak ikan air cupang. Semua cewek berlomba-lomba mencari tahu yang mana yang namanya Franz Ferdinand dan berandai-andai tentang betapa gantengnya dia.

Tapi, sayangnya, semua akan tertunduk lesu setelah mengetahui kalau realita seringkali tak adil dengan ekspektasi kebanyakan orang. Ferdi memang bukan cowok bule, tapi dia 1000000000 kali lebih lucu dari cowok kebanyakan. Bukan lucu kayak stand up comedy yang menurutku malah lucunya garing gitu. Dia nggak suka ngelawak kok, tapi nggak tau kenapa, tingkahnya suka bikin gemas aja. Mancing jiwa-jiwa psikopatku buat bangkit (kayak ngawetin dia buat dijadikan pajangan kamar, misalkan).

[ON HOLD] EkuilibriumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang