-1<m≤0

967 134 29
                                    

Kemiringan Garis Kehidupan Seorang Dee: antara -1 dan 0

[45 derajat ke kanan: nyaris menuju titik ekuilibrium]




Aku masih ingat bagaimana frustrasinya aku ketika ikan Koi yang adik sepupu Ferdi berikan kepadaku, mati.

Kronologinya sungguh mengejutkan, lebih mengejutkan dari kasus kopi sianida yang tidak kelar-kelar. Ceritanya bermula saat aku berniat untuk mencuci akuarium kecil, tempat ikan tersebut tinggal. Kebodohan pertama yang aku lakukan adalah meninggalkan Loi, si ikan Koi, ke dalam mangkuk besar. Kebodohan kedua yang kulakukan adalah meletakkan ikan tersebut di lantai. Ditambah dengan kebiasaan burukku yang seringkali lupa menutup pintu kos-kosan, datanglah bencana itu, menghampiri nasib Loi.

Secara tragis dan dramatis, Loi dimakan kucing garong buluk yang seringkali tidur di depan pintu kamar para penghuni kos. Kembali dengan suasana hati bahagia karena merasa bahwa aku cukup bisa diandalkan untuk mengurus ikan ini, aku terkejut bukan kepalang ketika menemukan lantai di kamarku sudah becek dan mendapati cap kaki kucing tercetak di atasnya.

Sewaktu mencuci akuarium itu, aku memang menyalakan keran air sehingga tidak mendengar suara bising dari luar kamar mandi. Mendapati mangkuk besar yang tadinya dijadikan habitat sementara Loi sudah kosong dan hanya diisi oleh air yang tinggal seperempatnya, lututku lemas tak bertenaga. Pasalnya, adik sepupu Ferdi itu tinggal bersama orangtua Ferdi dan selalu menanyakan kabar ikan kesayangannya setiap kali aku berkunjung ke sana. Kalau dia menanyakan kondisi Loi, sedangkan ikan itu sudah tercerna dalam perut kucing garong buluk, apa yang harus kukatakan agar bocah itu tidak syok? Aku nyaris gila karena memikirkan jawaban yang harus kuberikan saat itu.

Aku jarang frustrasi hanya karena ujian atau hal-hal yang berkaitan dengan sekolah. Aku suka belajar. Meski sangat tidak menyukai tugas dan ujian, hal itu tidak membuatku stress seperti kebanyakan pelajar. Masalah yang sejenis dengan kasus Loi lebih berhasil membuatku gila. Tidak mampu memenuhi tanggung jawab, berarti kejahatan besar buatku. Maka dari itu, ketika mendapati bahwa Mama sedang di luar kota dan tidak bisa bertemu denganku seperti misi yang kubuat dengan Aria, membuatku sakit kepala. Kasus kematian Loi dan kasus ini nyaris serupa. Aku merasa gagal untuk bertanggung jawab dan itu sangat melukai prinsip hidup serta harga diriku—aku sudah bilang 'kan kalau aku itu sangat mirip Mama?

"Ibu sebentar lagi sampai. Mbak Dee bisa tunggu di dalam, nanti saya minta tolong OB buat bawain teh," seorang resepsionis yang sejak tadi sibuk menelpon, membuyarkan nostalgiaku tentang dosa masa lalu—membunuh Loi.

Aku bangkit dari sofa dan bergegas masuk ke ruangan Mama setelah berterima kasih kepada wanita itu. Tak beberapa lama setelah seorang OB mengantarkan secangkir teh kepadaku, Mama datang dengan wajah lumayan cerah. Cerah di sini, maksudnya bukan biasanya wajah Mama gosong seperti pantat panci atau apa. Maksudku cerah dalam kasus ini adalah cerah karena ekspresi Mama tidak terlihat gahar sama sekali atau seperti mau makan orang. Pasti ada kabar baik perihal bisnis Mama.

"Aku belom lama nyampe kok, Ma," sapaku basa-basi seraya menyeruput teh di atas meja. Tehnya sudah agak dingin. Aku nggak tahu apakah memang sudah lama aku berada di ruangan ini atau OB itu memang membuatkan teh dingin. Aku tidak begitu menyadari, mungkin karena terlalu asyik menyusun puzzle wajah Monalisa di ponselku.

Di hadapanku, Mama membuka jasnya lantas duduk di atas sofa. "Udah tau kok. Tadi kan Heni telepon Mama waktu kamu dateng, ngasih tau," Mama menjawab dengan ekspresi kalem. Ia duduk dengan menyilangkan kaki dan menatapku lurus seakan tengah menginterogasi calon pembantu baru. "Kamu kenapa tiba-tiba maksa banget ketemu? Bikin onar baru ya?"

[ON HOLD] EkuilibriumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang