m<0

847 132 11
                                    


Kemiringan Garis Kehidupan Seorang Dee: kurang dari 0

[antara mendekati atau menjauhi garis ekuilibrium]



Di malam sebelum aku pergi ke rumah Mama, Papa mendatangi kamar tidurku. Saat itu, aku memang tengah menginap di rumah Papa dan telah melalui masa ujian akhir semester dua sehingga memutuskan untuk tinggal di rumah Papa selama dua hari. Awalnya, aku berpikir bahwa Papa akan menginterogasiku perihal motif di balik semua keputusan yang serbadadakan ini (bertukaran tempat tinggal dengan Aria, misalkan). Tetapi, malam itu, Papa hanya memerhatikanku yang tengah berkemas seraya melontarkan beberapa pertanyaan basa-basi. Kami mengobrol selama beberapa saat, kemudian Papa pergi tanpa banyak bicara.

"Gimana kemarin UAS-nya? Bisa, Dee?" tanya Papa saat itu ketika tiba-tiba saja muncul di pintu kamarku. Aku yang saat itu tengah memilah-milah baju ganti untuk dibawa ke rumah Mama, agak tersentak karena sebelumnya hanya terfokus pada pekerjaanku saja. Jika ada yang bertanya-tanya mengapa aku tidak pakai baju Aria saja, maka jawabannya adalah: YA, NGGAK MUNGKINLAH!

Lihat saja bagaimana gaya berpakaian Aria dan bagaimana gayaku sehari-hari. Aku adalah tipe cewek yang selalu pakai jins beserta kaos atau kemeja, sedangkan Aria adalah tipe cewek yang gemar pakai rok berwarna pastel selutut dan atasan lumayan modis. Secara tampilan, kami nyaris kayak bumi dan langit. Maka dari itu, jika aku pergi ke tempat orang-orangku dengan gaya Aria, bisa-bisa aku disangka tengah kesurupan. Misalnya saja, seperti saat aku tukeran identitas dengan Aria saat konser amal Ketimbang Ngemis beberapa waktu lalu. Agas sampai panik dan berkomentar menyebalkan sepanjang waktu—itu berdasarkan cerita Aria kepadaku sih.

"Lumayan lancar, Pa. Tapi ada beberapa matkul yang agak tersendat. Soalnya emang pas kuliah, Dee kurang cocok sama cara ngajar dosennya. Dee juga baru SKS* ngejar materi matkul itu karena keteteran sama tugas dari matkul lain dan urusan-urusan lain," aku bercerita panjang lebar sembari menutup resleting ranselku dan meletakkannya ke atas meja belajar. Saat menoleh ke arah Papa yang sebelumnya tengah memerhatikanku, aku melihat Papa masuk ke dalam kamarku dan duduk di tepi kasur. Papa menarik napas seraya mengangguk-angguk kecil. (SKS: Sistem kebut semalam)

Berbeda dengan ketika bersama Mama, aku bersikap lebih terbuka kepada Papa. Bukannya Mama tidak enak dijadikan tempat curhat, hanya saja karena aku lebih terbiasa bersama Papa, aku merasa lebih nyaman untuk berbagi masalah dengan Papa. Apalagi, Papa adalah tipe pendengar yang baik dan selalu membuat orang yang berada di sisinya merasa berada di tempat paling aman. Sampai sekarang, aku belum menemukan satu orang pun selain Papa yang bisa menandingi tingkat kenyamanan dalam berbagi masalah.

Aku jadi penasaran kenapa Mama begitu membenci Papa.

Di tempatnya, Papa tampak merenung sejenak, lantas menjawab dengan kalem, "Ya, nggak apa-apa. Yang penting sudah usaha. Asalkan jujur dan memang sudah mengerahkan upaya maksimal, meski hasilnya nggak memiliki definisi sebagus paradigma sosial sekalipun, pasti bakal tetap manis rasanya. Dee bisa usaha lebih banyak lagi kalau emang ngerasa usaha kemarin belum optimal."

Aku membalas nasihat Papa dengan anggukan dan senyuman tipis. Ini yang paling kusuka dari Papa, ia selalu berhasil menemukan sisi positif di balik keadaan paling suram sekalipun.

Sumpah, aku betulan penasaran kenapa Mama bisa sebegitu bencinya kepada Papa. Maksudku, apa sih yang Papa lakuin sampai Mama bisa-bisanya melupakan lautan kebaikan Papa hanya karena setetes kesalahan? Aku bahkan belum menemukan lelaki yang lebih baik dari Papa hingga Ferdi sekalipun.

Selanjutnya, Papa bangkit dari duduk dan mengusap kepalaku. Ia juga mengecup keningku dan berucap pelan, "Jaga kesehatan ya, Dee. Jangan terlalu keras belajar," lantas pergi tanpa berkata-kata lagi.

[ON HOLD] EkuilibriumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang