Kemiringan Garis Kehidupan Seorang Dee: -1,33[53 derajat ke kanan: menuju titik ekuilibrium]
Sore harinya selepas dari rumah Papa, aku menyempatkan diri untuk datang ke rumah Umi Nisa dengan berbekal lokasi yang tante itu bagikan kepadaku lewat aplikasi WhatsApp.
Saat pertama kali dipertemukan dengan Umi Nisa lewat Papa, kami memang langsung saling bertukar nomor ponsel untuk berkirim kabar atau jaga-jaga kalau-kalau nanti ada keperluan mendesak. Aku sangat bersyukur pemikiran seperti itu sempat tebersit, sehingga saat tengah dihadapkan kondisi seperti sekarang (aku butuh bertemu dengan Umi Nisa dan tidak mungkin menanyakan alamatnya kepada Papa—aku buta arah, susah menghafal jalan, dan Papa nggak boleh tau soal rencanaku), aku nggak perlu lagi tanya-tanya ke Papa buat tau alamat rumah tante yang superlembut itu.
"Jadi, hal penting apa yang mau Dee bicarakan sama Umi?" tanya wanita itu ketika aku telah dipersilakan masuk ke dalam rumahnya dan diboyong dengan penuh kasih sayang agar duduk di ruang tamu. Tante itu buru-buru hendak menyiapkan teh, tapi kuminta—paksa—agar tidak perlu repot-repot dan lebih baik langsung membicarakan inti masalah saja karena aku nggak bisa lama-lama. Aku harus segera kembali ke kos-kosanku setidaknya malam ini juga agar bisa mencuri waktu untuk me-review catatan dan materi yang akan diujikan dalam UTS besok.
Jadi, cerita sebelumnya adalah sewaktu Papa kembali sadarkan diri, Papa panik luar biasa waktu lihat aku sedang duduk di sebelah tempat tidurnya sambil memegang erat tangannya. Sebenarnya, kepanikannya tidak bisa disebut luar biasa juga karena Papa hanya menampilkan ekspresi terkejut sambil berkata dengan lemah dan susah payah, "Dee, kenapa di sini? Besok kan kamu ujian, Dee."
Tadinya, aku mau marah karena Papa melarang Mbok Dasimah buat memberitahuku perihal sakit yang dideritanya dan bertekad untuk menyembunyikan ini dari anak-anaknya. Maksudku, bukannya mau berprasangka buruk apa gimana, tapi kan kalau seandainya (amit-amit), Papa nggak ada umur, nggak mungkin kan Papa tetap menyembunyikan semua ini gitu aja dan bikin anaknya jadi merasa bersalah setengah mati karena nggak bisa ada di sisinya di waktu-waktu terakhirnya? Mengingat semua itu, aku yang tadinya mau meledak-ledak marah, malah menangkupkan wajah di balik telapak tangan dan menangis tersedu-sedu seperti anak kecil.
Papa yang melihatnya, langsung meraih tanganku seraya berkata dengan nada lembut, "Hey, hey, hey. Kok peri kecil Papa nangis? Sshh. Jangan nangis ah. Udah gede. Tuh tuh tuh liat, ingusnya meler ih. Jelek banget. Merah lagi mukanya." Ia juga menghapus air mata yang jatuh di pipiku seraya tertawa lemah begitu melihat ada cairan yang keluar dari hidungku. Sebenarnya secara biologi, itu bukan betul-betul ingus. Itu adalah air mata yang ikut keluar lewat hidung yang aku nggak tau gimana prosesnya (aku cuma pernah baca sekilas di akun WowFakta gitu dan dia nggak ngasih kronologis kenapa hal itu bisa terjadi).
Aku jelasin soal kekesalanku sepuluh menit setelahnya. Papa juga menjelaskan alasannya yang, entahlah, meski aku udah tau karena sudah diceritakan sama Mbok Dasimah sebelumnya, semua alasan yang menurutku nggak masuk di akal itu malah jadi alasan paling mengharukan yang pernah didengar seorang anak dari mulut papanya. Aku tau kalau Papa memang sudah bercerai sama Mama sejak delapan tahun lalu dan jadi berpisah temu sama Aria yang notabenenya tinggal sama Mama. Namun, hal seperti itu nggak serta bikin Papa jadi lupa sama anaknya, atau pilih kasih karena aku yang selama ini nemenin Papa. Papa masih tetap care tingkat spesies sama Aria dan takut anaknya itu jadi panik kalau tau Papanya terbaring lemah kayak sekarang ini.
Papa bilang, dia tau banget tabiat Aria yang selalu terlalu mikirin sesuatu kalau lagi dihadapkan sama sebuah masalah. Hal itulah yang membuat Papa urung buat memberitahukan keadaannya karena Senin besok, Aria bakal mengikuti Ujian Sekolah Berstandar Nasional dan nilai itu adalah salah satu kategori yang menjadi standar kelulusan tahun ajaran ini. Papa nggak mau nilai anaknya jeblok dan sekaligus nggak mau bikin anaknya sedih. Aku emang sedih lihat keadaan Papa sekarang ini, tapi aku lebih sedih bila membayangkan gimana Papa kalau harus sendirian melewati masa sakit tanpa keluarga di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Ekuilibrium
General FictionOke. Sebelum menyelam lebih jauh ke dalam kronik hidupku, ada baiknya kalau kita berkenalan dulu supaya tidak canggung. Namaku Dee. Aku punya saudara kembar yang satu juta kali jauh lebih manis daripada aku. Mamaku perfeksionis dan dia wanita karir...