Kemiringan Garis Kehidupan Seorang Dee: tidak tentu arah
[semakin terombang ambing menuju titik ekuilibrium]
Saat sedang menenggak air mineral banyak-banyak karena super kehausan, aku sampai tersedak akibat pertanyaan yang terlontar dari mulut Ferdi. Pasalnya, pertanyaan yang dikasih Ferdi itu aneh banget (Ferdi bisa dibilang jarang nanya hal-hal nggak penting. Kadang-kadang ada pertanyaan yang semipenting dan itu hanya kisaran tentang, udah makan belum, lagi di mana, atau hal-hal lain yang intinya berkaitan sama hidupku—mungkin Ferdi cuma menjalankan perannya sebagai pacar yang baik. Pacar kan biasanya suka nanya ini itu).
Maka dari itu, sewaktu tiba-tiba aja Ferdi bertanya soal topik aneh yang sama sekali nggak pernah masuk dalam perbincangan kami, aku langsung kaget sampai tersedak air. Aku berani jamin kalau sekarang mataku merah dan betulan mirip kayak zombie di film kartun (zombie di film asli, matanya nggak merah. Palingan kalo nggak menjijikan kayak orang teler, mereka berbadan superbesar melebihi gentong air. Atau kadang juga, mereka dibikin jadi ileran kayak zombie di film Train to Busan—pengecualian film Korea yang kutonton karena topiknya tentang zombie).
"Dee, cewek tuh biasanya suka apa sih?" itu pertanyaan Ferdi sekitar dua menit lalu, yang baru betul-betul sanggup kucerna begitu aku berhasil mengatasi tragedi dramatis karena tersedak air mineral. Aku curiga kalau jangan-jangan Ferdi lagi kena sindrom film remaja yang akhir-akhir ini lagi booming karena katanya peran utama cowoknya ganteng banget (tau, kan? Anak remaja biasanya nonton film cuma gara-gara pemerannya biar sekalian jadi ajang cuci mata). Tapi setelah kupikir lebih matang, kayanya nggak mungkin kalau Ferdi nonton film begituan. Selain karena itu tipe film supermenye yang sama sekali bukan seleranya, aku masih percaya kalau pacarku seratus persen straight.
Sebelum betul-betul yakin kalau aku sudah siap untuk memberikan jawaban, aku berdeham kecil untuk mengatur detak jantungku. Aku nyaris mengutuk diri sendiri kalau nggak ingat bahwa kata Nenek, mengutuk itu adalah pamali. Aku agak menyayangkan diriku sendiri yang mendadak jadi norak kayak begini. Masalahnya, kan, dia juga cuma nanya hal yang disuka cewek secara umum. Bukan pertanyaan berat kayak, Dee mau nggak nikah sama aku? Atau Dee jadi istri aku ya, tanda tanya (yang ini lebih gaya Ferdi banget).
Selama setahun merasakan punya pacar, aku nggak pernah ngalamin momen aneh-aneh atau romantis kayak yang suka ada di film romantis (Aria suka maksa aku buat nemenin nonton film-film menye, that's why, aku tau). Makanya pas akhir-akhir ini ada yang aneh dari sikap Ferdi, aku sering kelabakan sendiri.
"Dee?" panggil Ferdi dengan suara yang anehnya nggak kedengaran datar. Ini perasaanku aja apa gimana, kenapa Ferdi jadi keliatan super cute gini ya? Eh, tapi kan, Ferdi memang imut dari sananya. Walaupun yang sekarang ini, dia lebih cocok dibilang manis daripada cute.
Geli nggak sama ucapanku barusan?
"Eh, kenapa, kenapa?" sahutku yang malah balik nanya. Padahal aku udah tau dengan jelas pertanyaannya Ferdi itu apa. Maksudnya, nggak mungkin kan aku tersedak tanpa alasan selain karena menyadari kalau pertanyaan Ferdi seratus persen aneh?
"Eh, nggak usah, nggak usah. Aku udah denger tadi." Aku menambahkan kekehan pada akhir lanjutanku itu. Saat menyadari kalau aku beneran kayak orang bodoh karena jawaban bingungku itu, Ferdi mengucapkan terima kasih dan tersenyum tipis pada mbak-mbak pelayan kafe yang mengantarkan pesanan kami. Aku sampai nggak sadar kalau mbak-mbak itu datang karena saking repotnya untuk mengurus pikiranku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Ekuilibrium
Fiction généraleOke. Sebelum menyelam lebih jauh ke dalam kronik hidupku, ada baiknya kalau kita berkenalan dulu supaya tidak canggung. Namaku Dee. Aku punya saudara kembar yang satu juta kali jauh lebih manis daripada aku. Mamaku perfeksionis dan dia wanita karir...