Kemiringan Garis Kehidupan Seorang Dee: antara -1,33 dan -1
[53 hingga 45 derajat ke kanan: menuju titik ekuilibrium]
Ini betul-betul gila.
Aku nggak tahu habis melakukan kejahatan macam apa sampai aku jadi sesial ini, HARI INI. Pasalnya, aku nggak merasa kalau aku habis jahatin orang atau durhaka sama Mama-Papa atau menzalimi ikan lele milik Ibu Kosku (iya, beliau punya ternak ikan lele yang letak tempat budidayanya nggak jauh dari kos-kosanku, makanya kadang suka bau amis yang bikin cewek PMS rasanya mau ngebom Perumahan Meikarta aja—kalo cewek PMS-nya aku sih, bukan aku bom Meikartanya. Yang ada aku kudeta biar jadi milik aku seorang, kan keren kalau ada headline di koran "Sedang PMS, Mahasiswi Berinisial Mawar Jadi Milyarder Meikarta").
ASTAGA, aku meracau apaan, sih?
"Dee? Lo kenapa ngumpet di situ?" sebuah suara yang mirip suaraku dengan versi jauh lebih lembut sontak membuatku menoleh cepat dengan dramatis.
"ARIA! Penyelamatku!" Aku memasang gestur memeluk yang melayang—loh?—maksudku, tanganku seperti hendak memeluk, tapi aku tetap jongkok di sebelah mobil Fortuner yang terparkir di depan restoran. Terima kasih untuk tuan atau nyonya anonim yang sudah meletakkan mobil kerennya ini untuk jadi penyelamat utamaku.
"Dee, lo nggak lagi naber or something, 'kan?" Aria mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. Kelihatan lebih bingung dari aku yang sekarang nggak mengerti maksud ucapannya.
"Naber tuh apaan sih?" tanyaku sambil menggaruk bokong. Ternyata setengah jam jongkok seperti ini bisa bikin gatal-gatal begini, ya. Padahal aku nggak habis makan kelapa. Soalnya kata nenek dari Mama, kalo kita habis makan kelapa banyak-banyak, nanti bisa keremian dan efeknya adalah bokong kita jadi gatal-gatal.
Aria merendahkan tubuhnya ke arahku. Kupikir mulanya, dia hendak mengulurkan tangan agar aku lekas berdiri, tapi yang ia lakukan malah ikut-ikut jongkok sambil berbisik pelan, "Nahan berak."
"ENAK AJA." Aku buru-buru berdiri, lupa sejenak bahwa ada bercak merah di bagian belakang celanaku. Iya, inilah kekejaman yang kuterima hari ini. Aku sedang itu dan nggak tau gimana ceritanya bisa bocor begini. Masalahnya, ini terjadi di tempat umum dan di momen yang sangat penting pula. Betul-betul nggak tahu kondisi. Padahal kan aku mau jelasin soal rencanaku ke Aria. "Ariaaa, gue bocor. Sedih banget dah emang, kenapa harus sekarang coba."
Mendengar keluh kesahku, ekspresi Aria jadi berubah panik. "Dee, sumpah? Ya ampun, ya ampun." Aria buru-buru membuka sweater yang dikenakannya dan mengikatkannya ke pinggangku agar bercak merah di bagian belakang tubuhku jadi tertutupi. "Udah tujuh belas tahun lo hidup, kok bisa-bisanya sih bocor begini. Pake pembalutnya nggak bener apa gimana deh?"
"Udah dong ah jangan dibahas di sini. Mending sekarang masuk, gue laper tingkat tardigrade."
"Apaan lagi itu, tardigrade?"
"Spesies tertangguh di bumi," jawabku sekenanya sambil berlalu menuju ke dalam restoran.
"Bocah edan." Samar-samar, kudengar Aria menjawab, meski entahlah bagaimana ceritanya sekarang anak itu sudah tancap gas menarik kursi di hadapanku dan membaca daftar menu. "Btw, mau ngomongin apaan sih, Dee, sampe lo udah ribut banget dari minggu lalu? Gue jadi nggak konsen UN tau nggak gara-gara penasaran." Aria terdiam sejenak, kemudian melambaikan tangan pada pelayan wanita berseragam pink terang dengan topi berbentuk stawberry bermata besar. Aku sempat nyaris histeris di dalam hati (jangan tanya bagaimana kronologinya) karena dalam penglihatanku yang buram-muram karena rabun jauh ini terlihat seakan strawberry bermata besar itu adalah kepala dari si pelayan wanita. Untung, hati nuraniku mengingatkan agar lebih bisa mengendalikan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Ekuilibrium
Fiksi UmumOke. Sebelum menyelam lebih jauh ke dalam kronik hidupku, ada baiknya kalau kita berkenalan dulu supaya tidak canggung. Namaku Dee. Aku punya saudara kembar yang satu juta kali jauh lebih manis daripada aku. Mamaku perfeksionis dan dia wanita karir...