Kemiringan Garis Kehidupan Seorang Dee: lebih dari 0.5
[antara mendekati atau menjauhi garis ekuilibrium]
Keesokan harinya setelah melewati malam yang panjang dan berat (meski tidak seberat sapi dugong atau Cikgu besar yang ada di serial Upin-Ipin), aku berkunjung ke rumah Papa. Aku sengaja datang di siang hari meski tau kalau Papa pasti sudah berangkat kerja—aku memang datang untuk bertemu Aria karena Aria sendiri tengah menginap di rumah Papa.
Sewaktu aku membuka pintu dan masuk ke dalam, pemandangan yang pertama kali kudapat adalah: a) Agas sedang nonton film Korea yang aku nggak tau judulnya apa, kaki di atas sofa, memeluk bantal, dan sedang menguap superlebar seperti kudanil yang baru bangkit dari kubur setelah tragedi hujan meteor dan b) Aria baru keluar dari dapur sambil membawa seonggok camilan yang bisa dihabiskan untuk seumur hidup—oke, itu lebay, karena kalau yang memakan camilan itu adalah aku dan Agas, dalam kurun waktu sepuluh menit pun pasti sudah kandas dan berpindah tempat ke perut kami yang tidak memiliki dasar.
Aria kelihatan berseri-seri begitu melihat aku datang sambil membawa Jollytime (aku curiga dia senang bukan karena kedatanganku tapi karena aku membawa makanan untuk dia). Kecurigaanku terbukti karena setelah meletakkan onggokan camilan yang dia bawa ke atas meja, Aria langsung menghampiriku untuk mengambil Jollytime yang kubawa. "Tau banget kalau gue lagi ngidam yang manis!" katanya dengan nada sumringah.
Mendengar itu, aku berseru dengan suara toa, "SUMPAH DEMI APA. Gue baru ninggalin lo tiga hari di sini dan lo udah, mmm, bunting? Bilang ke gue, siapa lelaki kurang ajar itu, Ya! Bilang!" yang kemudian langsung disambut bantal sofa dari Agas yang kini memasang wajah tidak bersalah sama sekali setelah melempariku dengan itu. Aku memicingkan mata ke arah dia, kemudian mengamuk seperti zombi yang baru dicabut bulu ketiaknya.
"Lo apain saudara kembar gue? Mengakulah engkau wahai Kecoa Berkumis Lele!"
Tapi, serangan itu tidak membuat Agas gentar sama sekali. Ia justru membalasku dengan semburan api dari mulut setannya itu (yang untungnya tidak ikut memuncratkan kuah karena Agas berteriak dengan sensi seakan-akan habis kutarik rambutnya dengan lakban sampai botak). "Bacot, Jir, gue kecekek ni lu tarik-tarik kaos gue!"
"Gue gagal menjadi saudara sekaligus pengawal ratu kecoa berdarah aristokrat yang baik," ucapku dengan sedih sambil menunduk menatap sepatuku sendiri.
"Enak aja, maksudnya gue kecoa, gitu?" Aria mendengus tak mau terima. Seakan-akan ucapanku tadi adalah sebuah fakta yang begitu menggelikan bahwa selama ini, dirinya bersaudara dengan kecoa yang memiliki sayap naga.
Agas sendiri dengan kurang ajarnya, malah memakan camilan yang tadi dibawa Aria dan menyahut dengan nada menyebalkan. "Dee, sehari lo waras dikit, nggak bisa, ya?" dan itu betulan mengiris sistem limbik—bagian otak yang berfungsi sebagai pusat pengendali emosi—di otakku yang hanya sebesar kaki Amoeba.
Oke, itu lebay.
Aku tidak menghiraukan Agas sama sekali, kemudian fokus dengan Aria setelah sebelumnya berdeham serius. "Hm, oke, fokus. Jadi, rekan Aria, bagaimana kabar misi kedua kita?" tanyaku kepada Aria ketika ia tengah menyeruput Thai Tea yang sebelumnya tergeletak di atas meja.
Aria memandangku dengan wajah yang lebih imut dari anak kucing garong yang dibuang ibunya di pinggir got (ternyata kucing tidak lebih berperikeibuan daripada manusia), sebelum akhirnya menjawab dengan kalem. "Lancar, dan yah, gitu. Terjadi beberapa drama menyedihkan, tapi gue nggak bakal ceritain detailnya. Lo bisa dengerin aja rekaman pembicaraan gue sama Papa. Filenya ada di harddisk gue, sebelum pulang ke rumah Mama, ingetin gue buat kasihin ke lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON HOLD] Ekuilibrium
General FictionOke. Sebelum menyelam lebih jauh ke dalam kronik hidupku, ada baiknya kalau kita berkenalan dulu supaya tidak canggung. Namaku Dee. Aku punya saudara kembar yang satu juta kali jauh lebih manis daripada aku. Mamaku perfeksionis dan dia wanita karir...