Part 4

4.2K 145 0
                                    

Hari ini Naina ada tiga mata kuliah. Jam tiga sore kelasnya selesai. Kemarin ia janji pada Zia malam nanti akan menginap di tempatnya. Mereka berjalan berdua hendak keluar kampus, menuju kos Zia. Namun seperti biasa, Naina dan Zia senang menikmati suasana menjelang sore di dekat sebuah danau sebelum keluar kampus. Sekedar mencari angin dan duduk-duduk santai di rumput. Itulah yang biasa mereka lakukan. Bukan hanya mereka saja, banyak mahasiswa/i lain juga melakukan hal serupa di tempat tersebut.

Zia memandangi Naina dengan seksama. Naina yang diperlakukan seperti itu langsung angkat suara.

"Ih, apaan sih lihat-lihat kayak gitu. Ngeri jadinya tahu nggak, Zia?"

Zia tertawa. Naina memang tidak suka diperhatikan. Bukan hanya oleh laki-laki, bahkan ketika dipandangi teman sesama perempuannya pun ia juga merasa risih. Zia tahu itu.

"Nggak apa kok, Na. Aku cuma heran aja, bisa ya hanya dalam dua bulan tampaknya berat badanmu berkurang drastis. Jadi tadi pagi nggak sarapan lagi?"

Naina tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Tapi siang tadi aku kan makan, Zia."

"Hahaha.... Nasi timbel yang porsinya segitu aja kamu nggak habis tuh. Iya makan sih, tapi hanya syarat."

Naina menaikkan bahu. Tidak ada alasan lagi yang dapat ia katakan di depan Zia. Sahabatnya ini terlalu jeli. Ia memang biasanya akan menghabiskan satu porsi nasi timbel kesukaannya saat mereka berdua makan di Fakultas sebelah.

Beberapa saat, baik Naina maupun Zia sama-sama terdiam. Mereka menatap air danau yang tenang. Hingga akhirnya Zia membuka sebuah percakapan yang sangat ingin dihindari oleh Naina.

"Jadi, laki-laki itu masih belum menghubungimu?"

"Dan aku tidak bisa menghubunginya."

Naina menambahkan perkataan Zia. Raut wajahnya berubah. Jelas terlihat kesedihan saat Zia membuka pembicaraan tentang Faris.

"Aku tak tahu harus bertanya pada siapa, Zia. Selama ini aku tidak mengenal satupun teman atau orang-orang yang ada di sekitar Faris."

Naina tampak frustasi.

"Semua salahku. Mengapa aku tidak menepati janjiku padanya?"

Zia menggeleng kuat.

"No, no, no. Bagaimana bisa semua itu salahmu, Na? Apa yang salah kalau memang kamu tidak bisa menemuinya? Toh saat itu kamu sedang sakit. Laki-laki macam apa yang tidak mengerti keadaan perempuan yang katanya dicintainya?"

Naina diam seribu bahasa. Jujur, ia menyadari ucapan Zia ada betulnya. Naina memang berjanji akan menemui Faris, dua bulan lalu, tepat saat libur semester. Alih-alih Faris yang berniat datang ke Depok, justru mereka berjanji akan bertemu di kota tempat Faris tinggal dan kuliah saat ini. Namun dengan terpaksa Naina harus membatalkan janji mereka karena saat itu Naina sedang sakit. Selain itu, sebenarnya jauh di lubuk hatinya, ia mempunyai sedikit keraguan. Seharusnya saat itu menjadi pertemuan pertamanya dengan Faris. Selama ini mereka hanya menjalin hubungan jarak jauh dan belum pernah bertemu sekalipun.

"Sudahlah, Na. Berhenti memikirkan laki-laki itu. Tidak baik bagi kesehatanmu."

Hanya itu yang bisa Zia katakan. Ia tidak setega Naya maupun Sinta yang akan terang-terangan bilang untuk melupakan Faris dan mencari laki-laki lain. Tak sedikit kok laki-laki keren yang mengantri untuk mendekati Naina. Cuma selama ini Naina selalu menutup diri dengan alasan sudah ada Faris, meskipun menurut Zia, Naya, maupun Sinta, hubungan mereka tidak nyata. Hanya sebuah hubungan jarak jauh, bahkan mereka belum pernah bertemu sama sekali. Mana bisa seperti itu? Memang ada cinta yang seperti itu?

"Eh, ada siomay, Na. Mau?"

Belum sempat Naina menolaknya, Zia sudah berjalan mendekati Abang penjual siomay yang berada tak jauh dari mereka. Naina terpaksa mengalah dan membiarkan Zia melakukan apa yang ia inginkan.

"Nih, ada kentang, tahu, dan kubis. Tidak pakai telur."

Zia menyerahkan sebungkus siomay ke tangan Naina, dan mulai membuka miliknya sendiri. Dengan malas Naina menerima pemberian Zia, lalu membukanya.

"Udah, makan aja. Jangan malas begitu, nanti tambah kurus."

Zia menggunakan kalimat penekanan yang membuat Naina tidak bisa lagi membantah. Baru beberapa gigitan yang ia makan, Naina mengerutkan kening.

"Bukan Abang langganan kita ya yang jual?"

Zia menggeleng.

"Udahlah, Na. Makan aja. Kenapa emang? Enak kok ni punyaku."

Zia tersenyum sambil mengangkat plastik miliknya yang sudah hampir habis setengahnya. Naina diam dan menghabiskan makanannya dalam diam.

"Yuk, balik yuk. Gerah nih pengen cepet mandi."

Naina mengiyakan ajakan Zia. Mereka membersihkan baju masing-masing dari rerumputan yang menempel, lalu beranjak pergi, berjalan beriringan menyusuri jalan setapak sepanjang tepian danau.

"Aduh..."

Zia terperanjat melihat Naina menabrak seseorang. Abang penjual siomay tadi rupanya. Orang itu sedang berjalan sambil menuntun sepedanya, namun sepertinya tidak memerhatikan jalan karena sambil membetulkan tumpukan siomay yang ada di gerobaknya. Dan Zia yakin Naina pasti sedang melamun lagi.

"Eh, maaf ya, Bang. Maaf. Teman saya tidak sengaja."

Naina menoleh ke arah Zia yang sudah lebih dulu refleks meminta maaf.

Abang penjual siomay di depan mereka hanya mengangguk tanpa mengangkat wajahnya. Naina merasa bersalah dan meminta maaf juga.

"Maaf ya, Bang. Saya tidak sengaja tadi. Abang tidak apa-apa, kan?"

Begitulah Naina. Bagi yang tidak tahu sifatnya, pasti akan berpikir bahwa ia sok baik, sok perhatian. Padahal memang begitulah pembawaan gadis itu.

"Kalau jalan jangan sambil ngelamun atuh, neng. Nanti nabrak pohon atau tiang, lho."

Abang tukang siomay itu sedikit mengangkat wajah dan tersenyum samar. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup ujung topinya. Namun Naina sepertinya menyadari sesuatu. Tubuhnya menegang dan ia memegang erat lengan Zia yang keheranan melihat tingkah sahabatnya tersebut.

Jalan Menuju Jodoh [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang