"Aku hanya menemani Mas Naufal ke sebuah reuni."
Naina berkata pelan, berharap lawan bicaranya di telepon mengerti.
"Mas? Kamu panggil laki-laki itu dengan sebutan Mas? Dan kemana kamu bilang tadi? Reuni? Sebagai pasangannya?"
Naina diam. Nada suara Faris naik beberapa oktaf. Ia terdengar sangat emosi. Naina tahu dari dulu Faris memang tidak pernah suka jika dirinya pergi dengan laki-laki lain, siapapun itu. Naina tidak pernah jalan dengan laki-laki selama ini. Hanya sesekali ke swalayan dengan teman-temannya yang kadang ada laki-laki juga. Atau pergi dengan Naufal. Bagi Naina, bukan masalah besar jika ia sesekali menemani Naufal pergi atau hanya sekedar makan bersama. Toh Naufal tahu jika Naina tidak akan membiarkannya mendekat. Mereka hanya teman biasa."Ada yang salah kalau aku panggil Mas? Terus harus panggil apa? Nyatanya ia memang jauh lebih tua daripada aku kan."
"Bagus kalau kamu sadar. Jauh lebih tua. Seharusnya kamu panggil Bapak, atau Oom. Dan tidakkah kamu tahu apa tujuan laki-laki itu selalu mengajakmu pergi?"
Terdengar dengusan saat Faris menyindir Naina. Dan ada jeda yang sangat lama sebelum akhirnya Naina angkat bicara lagi.
"Aku nggak nyangka kamu seperti itu, Faris."
"Kamu naif, Na. Dan tidak pernah menghargai perasaanku."
Mata Naina berkaca-kaca. Air mata yang sudah ditahannya bersiap turun hingga akhirnya ia terisak. Tidak ada sahutan di seberang. Faris hanya diam, begitupun Naina yang sibuk dengan sesenggukannya. Mereka saling diam selama hampir sepuluh menit, dan akhirnya Naina memilih mematikan sambungan telepon. Ia yakin Faris tak akan meminta maaf padanya. Begitukah penilaian Faris padanya selama ini? Tidak pernah menghargai perasaannya? Nyatanya Naina masih memberikan kesempatan meskipun Faris sempat menghilang tanpa alasan jelas. Dan Naina tidak pernah menuntut penjelasan karena Faris tidak mau menjelaskan mengapa ia pergi begitu saja dari kehidupan Naina, tanpa kabar. Faktanya ia selalu berusaha kepercayaan laki-laki itu dengan tidak pernah menanggapi laki-laki lain yang berusaha mendekatinya.
Itulah kali terakhir Naina berbicara lewat telepon dengan Faris. Laki-laki yang disayanginya itu lagi-lagi memilih untuk menghilang. Bahkan hingga dua bulan lamanya, seperti sebelumnya. Tak berkabar, meskipun sesekali Naina dapat melihat bahwa Faris masih aktif membuka dan beraktivitas di facebook. Namun tampaknya ia memang memilih untuk tidak menghubungi Naina. Begitupun sebaliknya, Naina jelas enggan memulai terlebih dahulu. Apalagi jika ia harus meminta maaf. Jelas tidak mau, karena ia merasa tidak membuat kesalahan apapun.
[Two Month Later]
"Liburan semester ini kamu pulang, Dik?"
Naina tengah berbicara lewat telepon dengan Naufal. Ia memang masih berhubungan dengan laki-laki itu, sama seperti sebelumnya. Dua minggu lagi ia libur semester genap. Minggu depan mulai ujian.
"Entahlah, Mas. Males sih nggak ada kegiatan. Aku nggak ambil Semester Pendek. Pulang aja kali ya."
Liburan semester genap ini berlangsung selama tiga bulan. Malas kalau tudak ada kegiatan. Biasanya sih Naina pulang ke rumah, meskipun nanti di rumah ia juga bakal bosan.
"Kabari ya Dik kapan kamu mau pulang. Ntar kita bareng aja. Aku ada rencan mau pulang juga. Tapi males kalau harus long drive seorang diri."
Naina mengiyakan tawaran Naufal dan mengakhiri percakapan. Membicarakan liburan, membuatnya kembali mengingat Faris. Sudah hampir empat bulan mereka tidak lagi berhubungan. Tidak ada percakapan apapun di antara keduanya, termasuk membicarakan apakah mereka putus atau tidak. Naina tidak lagi mengambil pusing masalah itu karena belakangan ini ia disibukkan dengan banyaknya tugas kampus, serta harus rajin belajar menjelang ujian akhir semester minggu depan.
****
Jam dinding baru menunjukkan pukul delapan malam, namun Pancar memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya dengan berbaring di atas kasur. Selama beberapa bulan belakangan ini tidak banyak kegiatan yang ia lakukan. Tetapi entah mengapa ia merasa amat lelah. Terlebih pikirannya. Seolah banyak beban yang ia tanggung. Padahal hanya satu yang selalu ia pikirkan. Naina.
Hampir setiap hari Pancar mengamati gadis itu. Matanya tampak cekung. Badannya yang memang sudah kurus, terlihat semakin kurus. Ingin rasanya Pancar menghampirinya, membawanya ke tempat makan agar ia tidak lagi merasa khawatir. Ingin rasanya ia mendekat dan merengkuh gadis rapuh itu ke dalam pelukannya. Sejenak Pancar memejamkan mata. Lalu tanpa aba-aba ia menegakkan tubuhnya langsung. Astaga. Ia melupakan sesuatu. Diliriknya jarum jam yang berada di angka sembilan. Secepat kilat ia menyambar jaket hitam dan topi yang tergantung di dinding. Lalu dengan setengah berlari ia meninggalkan kontrakannya.
****
"Tok...Tok...Tok..."Naina sudah hampir memejamkan mata saat mendengar bunyi pintu diketuk. Awalnya ia berpikir hanya mimpi atau mungkin ia salah dengar. Namun saat bunyi ketukan itu terdengar kembali, ia betul-betul tersadar. Sepertinya pintu kamarnya yang sedang diketuk. Dengan sedikit malas ia bangkit dari kasur, mengambil cardigan di gantungan baju dan memakainya.
"Siapa tu?"
Naina memastikan siapa orang yang ada di luar pintu kamar sebelum ia membukanya.
"Anu Neng, ini Bapak."
Naina mengerutkan kening. Suara Pak Gino sepertinya. Ada perlu apa malam-malam begini Pak Gino mencarinya? Biasanya kalau malam laki-laki tua itu jarang berada di kosan dan lebih memilih pulang ke rumah sebelum datang kembali esok paginya. Daripada menebak-nebak akhirnya Naina memilih untuk langsung saja membuka pintu. Ia disambut dengan sebuah senyum kebapakan di depannya.
"Ini Neng."
Pak Gino mengulurkan bungkusan plastik ke arahnya.
"Apa ini, Pak?"
"Makanan sepertinya Neng. Buka aja sendiri ya. Bapak juga kagak tau apa isinya."
Pak Gino menggerakkan tangannya yang masih terulur sambil memegang bungkusan plastik. Mau tidak mau Naina mengambilnya dari tangan Pak Gino. Belum sempat membuka mulut untuk bertanya, Pak Gino sudah lebih dulu berbicara."Saya permisi ya Neng. Mau langsung pulang, kasihan istri sama anak saya sendirian."
Dan laki-laki tua itu berlalu meninggalkan Naina yang masih berdiri mematung di depan pintu kamar. Ini yang kedua kali Pak Gino memberikan makanan untuknya. Naina mengamati lorong di depan kamarnya yang sepi. Mungkin teman-teman satu kosannya pada sibuk belajar atau mungkin sudah ada yang tidur. Akhirnya ia memilih masuk ke dalam dan mengunci pintu.
Naina duduk di lantai. Ia membuka bungkusan plastik yang sudah diletakkannya di atas meja. Sebuah nasi bungkus sepertinya. Dan segelas jus alpukat. Ia membuka karet yang mengikat kertas minyak. Matanya membulat. Kwetiaw goreng. Ia mengedipkan mata beberapa kali. Tidak salah lihat. Di depannya terdapat makanan dan minuman kesukaannya. Entah dari mana asalnya Naina tidak berani menebak. Namun satu yang ia lakukan. Ia berdoa dalam hati, berterima kasih kepada siapapun itu, orang yang telah berbaik hati memberikan makanan ini saat perutnya belum terisi apapun sedari siang.
****
Pancar menyesap kopi hitam dari cangkirnya. Ia mengamati Ipul yang sedang sibuk bergelut dengan wajan dan segala macam peralatan dapur lainnya. Ia tidak menyangka temannya ini seprofesional yang terlihat oleh matanya saat ini. Banyak pembeli yang sedang mengantri. Dan setahu Pancar, Naina pemilih kalau soal makan mie. Dan dari sekian banyak warung yang ada, gadis itu menjatuhkan pilihannya ke warung Ipul. Sungguh, laki-laki tua yang kini mempekerjakannya dari jauh itu merupakan seorang expert dalam merekrut orang. Terbukti dari keputusannya saat memilih Ipul menjadi salah satu anggota timnya."Thanks ya, Bro."
Pancar menepuk pundak Ipul, lalu berjalan hendak pergi.
"Santai, Bro. Tapi sekali lagi gue ingatkan, jangan keterusan. Bisa fatal kalau lo ketahuan lagi."
Pancar tersenyum tipis. Ia berlalu meninggalkan warung nasi goreng itu sambil melambaikan tangan kepada rekan kerjanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Menuju Jodoh [Completed]
General FictionNaina adalah seorang mahasiswi sebuah kampus ternama di daerah Depok. Ia hanyalah seorang mahasiswi polos yang berusaha menjalani hari-hari semasa kuliahnya dengan baik. Pergi ke kampus setiap hari dan mengerjakan setiap tugas. Kehidupannya berjalan...