"Kamu habis nangis, Na?"
Naina terdiam mendengar pertanyaan Pancar di telepon. Ia tidak menjawab, hingga suara Pancar kembali terdengar.
"Akhirnya bisa denger juga suara kamu."
Ada jeda beberapa menit. Hanya suara napas masing-masing yang terdengar. Lalu tiba-tiba Naina terisak.
"Menangislah, jika itu membuatmu tenang."
Dan begitulah yang terjadi. Naina yang sibuk dengan tangisannya, Pancar dengan sabar mendengarkan, hingga lima belas menit lamanya.
"Aku nggak tahu apa salahku, Mas. Mengapa semuanya jadi begini?"
Pancar menghela napas.
"Tak boleh begitu, Naina. Tidak baik menyalahkan diri sendiri. Ingat, masih banyak orang yang mencintai dan menyayangimu."
Entah mengapa setiap kali berbicara dengan Pancar, Naina merasa bahwa mereka sudah sangat lama saling mengenal. Padahal kenyataannya justru sebaliknya. Baru beberapa bulan ini ia mengenal Pancar. Tetapi Naina bahkan tidak perlu merasa heran saat Pancar bisa menebak keadaannya, perasaannya, atau apapun tentang dirinya. Ia merasa memang sudah seharusnya seperti itu. Berbeda halnya dengan dulu, ketika ada orang lain yang sok akrab, sok kenal, dan sok baik, Naina akan langsung curiga dan menghindar.
"Kalau boleh, Mas mau mengatakan sesuatu. Boleh, Na?"
Naina diam, tidak menyahut.
"Kalau kamu diam, berarti Mas anggap itu sebagai iya."
Terdengar bunyi klakson dan deru kendaraan di seberang. Naina mengerutkan kening. Apakah Pancar sedang di jalan?
"Bentar ya, Na. Mas nyebrang dulu. Sebentar lagi sampai kos. Jangan dimatikan teleponnya ya."
Naina mengangguk, meskipun Pancar tidak akan dapat melihatnya. Sepuluh menit kemudian, suara Pancar kembali terdengar.
"Kamu masih di sana, Na?"
"Iya."
"Kamu, umur berapa punya target menikah, Na?"
Naina mengerutkan kening. Dari sekian pertanyaan, mengapa Pancar harus tanya tentang pernikahan?
"Aku, hm, sebenarnya nggak mematok sih. Tapi nggak mau juga kelamaan. Apa bagusnya jadi perawan tua? Iya kan?"
Naina memilih jawaban diplomatis. Bagaimana mungkin ia bisa menjawab pertanyaan Pancar jika hubungannya dengan Faris sedang dalam kondisi rumit seperti sekarang ini.
"Sejujurnya, Mas menyukaimu, Na. Dan kalau kamu bersedia, Mas ingin menikahimu, secepatnya."
Nada suara itu terdengar biasa saja, tidak keras dan juga mengintimidasi, namun saat mendengarnya, Naina merasa merinding. Ia tidak siap dengan semua ini. Menikah? Secepatnya? Dengan Pancar? Tidak pernah ada dalam bayangan Naina. Satu-satunya orang yang selalu Naina bayangkan akan menjadi suaminya adalah Faris. Bagaimana bisa ia menikah dengan orang lain?
"Mas tahu kamu pasti kaget. Tidak usah dijawab sekarang. Dan jangan dijadikan beban. Kalau memang kamu menolaknya, tidak masalah. Tetapi, kemarin Mas sudah menyampaikan maksud Mas ini kepada orang tuamu."
"APA??"
Naina terkejut mendengar ucapan Pancar. Orang tua? Maksud Pancar? Seperti mengerti apa yang ada di dalam pikiran Naina, Pancar kembali menjelaskan.
"Tentu saja Mas melakukannya lewat telepon, Na. Dan tidak usah kamu tanya dari mana Mas dapat nomor telepon orang tua kamu."
"Tapi, Mas tahu kan bagaimana keadaanku saat ini? Maksudku, hubunganku yang rumit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Menuju Jodoh [Completed]
General FictionNaina adalah seorang mahasiswi sebuah kampus ternama di daerah Depok. Ia hanyalah seorang mahasiswi polos yang berusaha menjalani hari-hari semasa kuliahnya dengan baik. Pergi ke kampus setiap hari dan mengerjakan setiap tugas. Kehidupannya berjalan...