Part 6

3.1K 114 0
                                    

“Dari mana lo, Ri?”

Pancar berjalan cepat tanpa memerhatikan sekeliling. Ia hendak membuka pintu kamar ketika Dito, teman satu kontrakannya menyapa. Ia menoleh, ternyata Dito tidak sendiri. Ada Juned, Hadi, dan Jupri juga. Mereka tengah duduk di depan kamar Dito. Pancar enggan berbasa-basi, namun ia melakukannya juga.

“Nyari makan barusan gue.”

Kepulan asap rokok berputar di sekitar mereka. Pancar mengambil satu batang rokok dari atas meja dan menyulutnya. Ia masih kesal, terlebih kepada dirinya sendiri.

“Yang bener lo? Gue pikir lo kerja. Biasanya kan siang malam ada aja yang lo lakuin di luaran sana.”

Pancar tahu kalau Juned tengah menyindir dirinya. Hanya Pancar yang sering keluar tanpa kenal waktu, dengan dalih kerja. Sementara teman-temannya punya jam kerja masing-masing. Dito yang seorang karyawan swasta biasa pergi pagi hingga sore. Sementara Juned dan Jupri, si penjual gorengan dan mie tek tek lebih sering kerja saat malam hari. Lain halnya dengan Hadi yang seorang programmer freelance, lebih sering menghabiskan waktunya di kontrakan. Memang teman-temannya tidak pernah secara terang-terangan menanyakan jenis pekerjaan apa yang sebenarnya ia lakukan setiap hari, namun Pancar yakin sebenarnya mereka penasaran.

“Lo berdua nggak mangkal?”

Pancar memandang ke arah Juned dan Jupri, sengaja ingin mengalihkan topik pembicaraan.

“Gue agak maleman dikit ntar baru jalan. Lo gak jualan, Ned?”

Jupri menyenggol bahu Juned.

“Libur gue.”

Juned menjawab singkat.

“Eh, jadi gimana Dit cewek yang lo ceritain tadi?”

Pertanyaan Hadi membuat mata semua orang, termasuk Pancar, memandang ke arah Dito.

“Cewek?”

Pancar heran. Tidak biasanya teman-temannya ini membahas masalah perempuan jika sedang berkumpul.

“Aih, si Ari mah kagak pernah update sama info terbaru. Kasih tau, Pri.”

Hadi menoleh ke arah Jupri. Teman-temannya terkekeh.

“Tau nih Ari. Kagak tertarik lo sama cewek?”

Jupri bergurau, disambut dengan gelak tawa yang lain. Pancar juga ikut tertawa.

“Si Dito naksir sama cewek Ri. Cakep lho anaknya. Anak kampus tampaknya.”

Dito memukul kepala Jupri.

“Eh, kupret. Naksir, naksir. Gue juga baru lihat beberapa kali itu cewek lewat.”

Jupri tidak menghiraukan perkataan Dito.

“Cakep ceweknya. Kemarin kita ikutan mantengin pas itu cewek lagi di warnet sebelah.”

Kening Pancar berkerut. Warnet sebelah?

“Kayaknya nggak punya cowok. Setahu gue selalu sendirian tiap keluar itu cewek. Kadang sama temennya, tapi nggak pernah terlihat sama cowok.”

Dito berbicara sambil senyum-senyum.

“Eh, ngapa lo senyum-senyum sendiri? Bilangnya aja kagak naksir. Dasar lo.”

Hadi memukul punggung Dito.

“Ceweknya kayak gimana?”

Semuanya menoleh ke arah Pancar.

“Putih, Ri. Tinggi, pakai jilbab. Body nya wow banget.”

Juned menggambarkan dengan gerakan tangan, membentuk sebuah biola.

“Besok lihat aja sendiri. Cewek itu sering ke warnet tiap sore, kadang malam habis Isya' gitu.”

Tubuh Pancar menegang. Ia mencurigai sesuatu. Sebuah kemungkinan yang tidak ia inginkan kebenarannya.

Jalan Menuju Jodoh [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang