"Ris, nanti pulang aku mampir tempatmu dulu ya. Ada yang mau aku omongin."
Dengan suara pelan dan takut-takut Naina berbicara tanpa menatap Faris. Yang diajak berbicara bertingkah sebaliknya, menatap tajam Naina, dengan pandangan menyelidik.
"Kenapa nggak ngomong di sini aja?"
"Nggak bisa, Ris. Nanti aja ya."
"Mau ngomong apa sih? Kamu ini semakin aneh. Mau minta putus?"
Deg. Naina terdiam. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Kepalanya yang dari tadi menunduk, semakin tertunduk dalam.
"Jadi benar?"
Nada suara Faris terdengar sudah naik beberapa oktaf. Naina bergidik mendengarnya. Tanpa sadar ia menggeser posisi kursinya, sedikit menjauh dari Faris. Pacarnya itu memicingkan mata memandang kelakuan Naina.
"Ngapain geser ke situ? Nggak mau dekat-dekat aku?"
Kali ini suara itu terdengar dingin, dan nadanya masih sama tinggi dengan sebelumnya.
"Kalau ngomong itu pakai otak, Na."
Naina masih membisu. Ia tidak siap dengan semua ini. Ingin rasanya menyahuti ucapan Faris, namun ia masih waras, tidak mau menjadi tontonan orang-orang di sekitarnya. Suasana mall yang ramai di siang menjelang sore jelas bukan tempat yang ia inginkan untuk bertengkar. Biarlah ia memendam semuanya hingga nanti.
"Kamu dekat dengan cowok lain?"
Astaga. Rupanya Faris tidak berniat menghentikan perkataannya dan malah memilih menginterogasinya.
"Aku nggak nyangka kamu seperti itu, Na. Kupikir kamu tipe perempuan setia."
"Maksud kamu apa?"
Naina terpancing juga. Ia tidak terima jika sudah menyangkut kata setia. Kurang setia apa coba dirinya selama ini? Bahkan saat Faris berkali-kali menghilang tanpa kabar, ia tidak mencari laki-laki lain. Larangan Faris untuk tidak berteman dan berinteraksi dengan laki-laki lain juga ia turuti selama ini. Ia juga tidak pernah sekalipun keluar sama laki-laki lain. Kurang apalagi?
"Akhir-akhir ini kamu sibuk dengan tab kamu itu. Aku melihat, Na meskipun diam. Apa namanya kalau tidak selingkuh saat kamu tersenyum-senyum dengan wajah berbinar setiap kali mengetikkan sesuatu di tab?"
"WHAT??"
Mata Naina mulai memanas. Air matanya sudah berada di pelupuk mata dan bersiap untuk keluar. Pemikiran macam apa itu? Oke. Ia akui selama ini kehadiran Pancar memang membuatnya bahagia. Laki-laki itu, mungkin hadir disaat yang tepat, saat pikiran Naina sedang kusut dan banyak masalah. Tetapi ia dengan Pancar? Astaga. Bahkan mereka hanya mengobrol biasa saja. Sedangkal itukah pemikiran Faris tentang selingkuh? Ini baru hubungan pacaran, apalagi kalau sudah menikah nanti?
"Aku nggak ngerti jalan pikiran kamu, Ris."
"Aku bukan cowok bodoh yang bisa kamu perlakukan seperti ini, Na. Siapa yang berada di sampingmu saat kehidupanmu berada di titik paling bawah? Siapa yang mengajarimu menjadi perempuan mandiri seperti saat ini? Aku, Na. Aku. Bukan dia atau cowok lain."
Hati Naina sakit. Kata-kata Faris tepat menghunjam jantungnya. Jadi, apa yang Faris lakukan selama ini, membantunya berdiri dan berjalan saat dirinya tengah terjatuh, semua itu berbayar? Naina tidak bisa mengendalikan air matanya lagi. Tangisnya pecah. Ia menahan sekuat tenaga agar tidak bersuara, namun tetap saja bunyi sesenggukan masih terdengar, hingga beberapa orang yang lewat di depan counter juice mereka sesekali melirik ke arah dirinya dan Faris. Teman-teman penjaga counter makanan dan minuman di kiri-kanannya juga mulai berbisik-bisik menyaksikan pertengkaran mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Menuju Jodoh [Completed]
Ficción GeneralNaina adalah seorang mahasiswi sebuah kampus ternama di daerah Depok. Ia hanyalah seorang mahasiswi polos yang berusaha menjalani hari-hari semasa kuliahnya dengan baik. Pergi ke kampus setiap hari dan mengerjakan setiap tugas. Kehidupannya berjalan...